BANDA ACEH – Transparency Internasional (TI) Indonesia merekomendasi pemerintah untuk menyediakan regulasi dan prosedur mewajibkan komitmen antikorupsi perusahaan tambang secara komprehensif dan melakukan pengawasan serta penegakan hukum yang efektif.
Peneliti TI Indonesia, Gita Ayu Atikah, mengatakan hal tersebut perlu dilakukan agar setiap perusahaan yang diberikan izin pertambangan dapat memenuhi prinsip-prinsip yang mampu mencegah terjadinya praktik korupsi dan pelanggaran.
“Bagi perusahaan perlu memastikan adanya kebijakan antikorupsi yang esensial untuk memitigasi pelanggaran serta melindungi masyarakat dari dampak sosial dan kerusakan lingkungan,” kata Gita Ayu Atikah dalam kegiatan diskusi Diseminasi Transparancy in Corporate Reporting (TRAC) Penilaian Perusahaan Tambang Indonesia, di Banda Aceh, Rabu, 3 Juli 2024.
Ia mengatakan bahwa TI Indonesia telah melakukan penilaian terhadap 121 perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia dengan menggunakan metode Transparency in Corporate Reporting (TRAC). Indikator hasil diseminasikan dari tiga daerah, yakni Banda Aceh, Samarinda dan Kendari.
“Instrumen penelitian ini digunakan untuk mengevaluasi dan menilai sejauh mana perusahaan terbuka dalam pelaporan mereka terkait kebijakan antikorupsi dan komitmen terhadap kepatuhan hukum,” ucapnya.
Gita menyebutkan ada dua aspek besar yang dinilai oleh TI Indonesia dalam penelitian ini yakni Aspek Antikorupsi sebanyak lima dimensi dan Aspek Sosial dan HAM empat dimensi. Dalam temuannya terungkap bahwa Skor TRAC untuk Aspek Antikorupsi dari 121 perusahaan tambang di Indonesia hanya sebesar 0,31 dari skor maksimal 10.
“Ini menandakan mayoritas perusahaan tambang berada pada kategori skor sangat rendah dalam mengungkapkan kebijakan dan program anti korupsi perusahaan,” ucapnya.
Sedangkan pada Aspek Sosial dan HAM memperoleh skor 0,30 dari skor maksimal 10. Skor ini mengindikasikan bahwa rata-rata perolehan skor dari 121 perusahaan tambang di Indonesia berada pada kategori skor sangat rendah dalam menjalankan praktik bisnis yang berintegritas dan ramah lingkungan.
“Tidak maksimalnya pendapatan negara di sektor tambang disebabkan berbagai kasus korupsi, belum lagi dampak sosial dan bencana ekologis yang menyertainya,” kata dia.
Dalam konteks Aceh, kata Gita, dari 121 perusahaan tambang yang dinilai, satu perusahaan yang berasal dari Aceh yakni PT Mifa Bersaudara memperoleh skor 0/10, sedangkan dari aspek sosial dan HAM memperoleh skor 3,42/10. Artinya PT Mifa Bersaudara belum memiliki komitmen dalam aspek dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.
Sementara itu, Akademisi Universitas Serambi Mekah, Zulfikar, mengatakan belakangan ini ada kenaikan izin tambang yang dikeluarkan dan hampir semua lokasi pertambangan itu beresiko, seperti resiko lingkungan, kerusakan hutan, hulu sungai dan lainnya.
“Komitmen antikorupsi memang rendah di Aceh. Riset ini seharusnya dapat menjadi acuan juga dalam pembangunan di sektor tambang,” kata dia.
Divisi Kebijakan Publik dan Anggaran GeRAK Aceh, Fernan, mengatakan hal tersebut seperti kutukan SDA, konflik akibat pertambangan, dan kerusakan lingkungan. Sehingga dipertanyakan apakah SDA ini benar-benar membawa kesejahteraan bagi masyarakat atau tidak.
“Momentum pilkada tahun 2024 seharusnya bisa menjadi bagian dari evaluasi dalam pengelolaan SDA, riset ini bisa menjadi bagian dari evaluasi tersebut” ucapnya. Ia menyebutkan penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perusahaan tambang tidak memiliki kebijakan yang memadai dari aspek antikorupsi, sosial dan HAM, sehingga sulit untuk menghindar dari pertanggungjawaban pidana korporasi.
Disisi lain, kata Fernan, upaya penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi dan lingkungan di sektor SDA tak selalu membuahkan putusan yang adil bagi publik, terlebih lagi bagi lingkungan hidup.
“Belum lagi eksekusi putusan dalam berbagai kasus yang terkait kerugian negara dan lingkungan mengalami banyak tantangan dan hambatan,” kata Fernan.***
Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/.