Menimbang Untung Rugi Keberadaan Pertambangan di Aceh

Oleh: Tajul Ula*

Kekayaan alam yang terkandung di Provinsi Aceh menjadi daya tarik tersendiri bagi investor untuk mengeruk hasil kekayaan alam di Aceh. Mulai dari hasil laut, perkebunan, pertanian maupun hasil bumi lainnya. Namun di balik anugerah kekayaan alam ini terdapat berbagai masalah ketika hasil buminya terus dikeruk tanpa memperdulikan kondisi alam maupun kondisi sosial setelah dieksplorasi.

Belakangan yang menjadi sorotan utama di berbagai kalangan aktivis maupun pers ialah sektor pertambangan. Alasannya ialah eksistensi pertambangan di Provinsi Aceh saban hari terus menghadapi berbagai masalah mulai dari kondisi alam yang rusak akibat dari kegiatan tambang yang berefek pada kesehatan masyarakat sekitar sehingga bencana alam seperti banjir dan longsor terjadi rutin setiap tahun yang menelan korban jiwa sehingga menyebabkan kerugian materil yang cukup besar.

Masalah lain yang muncul ialah prilaku kebanyakan perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya seperti pengurusan izin, proses eksporasi dan eksploitasi serta tunggakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 59,78 miliar bersumber dari iuran tetap (landrent) dan iuran produksi (royalti) yang terdiri Rp 41 miliar berasal dari 128 IUP yang telah berakhir masa berlakunya dan 30 IUP yang sampai sekarang masih aktif.

Sampai saat ini angka tersebut masih menjadi piutang pemerintah. Akibatnya, Pemerintah Aceh telah mencabut  108  IUP bermasalah  dalam rentan waktu  2015 hingga 2018, dimana Pemerintah Aceh sejak tahun 2014 telah mengeluarkan 138 Izin Usaha Pertambangan (IUP) namun hanya tersisa 30 IUP di tahun 2018 ini.( sumber: http://data.gerakaceh.id/)

Dari sisi ekonomi permasalahan-permasalahan diatas cukup merugikan mayoritas masyarakat Aceh terutama bagi masyarakat yang hidup di daerah sekitar pertambangan. Alasannya ialah tunggakan puluhan miliar rupiah oleh perusahaan-perusahaan tambang yang seharusnya menjadi pemasukan bagi pemerintah daerah dan selanjutnya digunakan untuk keperluan pengeluaran pemerintah yang bersifat produktif hingga menjadi stimulus bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Akan tetapi justru potensi keuntungan dari kegiatan pertambangan tersebut meninggalkan berbagai masalah yang hingga kini belum terselesaikan. Alih-alih menjadikan masyarakat lebih sejahtera, nyatanya masyarakat hanya menjadi penonton di rumah sendiri dimana keuntungan sebagian besar hasil pertambangan dinikmati oleh kaum-kaum tertentu saja.

Selanjutnya, apabila kita merujuk pada pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh saat Menggelar Konferesi Pers tentang Pertumbuhan Ekonomi Aceh Triwulan IV 2017 dan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Triwulan IV 2017 dan Perkiraan ITK Triwulan I 2018 Mei lalu, Perekonomian Aceh Triwulan IV-2017 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp37,77 triliun atau sebesar US$2,79 miliar. Sementara itu PDRB tanpa migas adalah sebesar Rp36,72 triliun atau sebesar US$2,71 miliar.

Artinya, Ekonomi Aceh dengan migas secara kumulatif (c to c) hingga triwulan IV-2017 tumbuh sebesar 4,19 persen, pertumbuhan c to c tanpa migas adalah sebesar 4,14 persen. Lebih lanjut dari pemaparan tersebut, ekonomi Aceh Triwulan IV-2017 mengalami kontraksi sebesar 0,44 persen dengan migas sedangkan tanpa migas tumbuh sebesar 0,41 persen bila dibandingkan dengan Triwulan III-2017 (q to q). Kontraksi pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh turunnya nilai tambah pertambangan dan penggalian sebesar 10,52 persen. (sumber: diskominfo.acehprov.go.id)

Hasil dari pemaparan BPS Aceh tersebut memberikan pemahaman bahwa sektor pertambangan di Aceh masih belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Perekonomian Aceh, sebaliknya memberikan beban pada Perekonomian Aceh yang santer diberitakan masuk dalam kategori buruk atau kasta terendah secara nasional.

Lemahnya kontribusi sektor pertambangan di Aceh akibat dari kebutuhan berbagai produk yang berasal dari bahan tambang belum ada yang diproduksi di Aceh alias seluruhnya diimpor dari luar Aceh dan luar negeri. Oleh karena itu, pola pengelolaan tambang di Aceh dikenal sebagai vertical division of labor, yaitu hanya mengeksploitasi bahan mentah dan diekspor ke luar Aceh dan luar negeri dengan harga yang sangat murah sehingga hasil pertambangan di Aceh belum memberikan nilai tambah perekonomian.

Sebaliknya isu yang muncul secara signifikan ialah kerusakan alam dalam hal ini lingkungan hidup dan hutan yang dieksploitasi dari kegiatan tambang dan meninggalkan lubang-lubang beracun bagi kehidupan masyarakat Aceh.

Dari sisi kebutuhan memang saat ini sektor pertambangan sangat dibutuhkan sebagai sumber energi dalam aktivitas produksi dan konsumsi kehidupan sehari-hari. Namun saat ini secara global, dunia tengah dihadapi tantangan isu pemanasan global akibat dari penggunaan sumber energi pada sektor pertambangan, maka cepat atau lambat sektor pertambangan dikemudian hari akan semakin ditinggallkan.

Hal ini seiring dengan pemanfaatan energi terbarukan dan lebih ramah lingkungan seperti pemanfaatan energi matahari melalui panel surya, pemanfaatan tenaga air (hydropower), dan pemanfaatan tenaga angin bahkan gelombang laut yang kian hari tengah dikembangkan dan dipromosikan di berbagai Negara.

Secara umum wilayah-wilayah di Indonesia dan khususnya Aceh memiliki potensi dan peluang yang sangat besar untuk membangun sumber energi yang ramah lingkungan karena memiliki limpahan sumber air, angin, cahaya matahari dan panas bumi (geothermal) yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan. Pemanfaatan sumber energi terbarukan ini secara bertahap dapat mencegah eksplorasi dan produksi lahan-lahan atau ladang minyak yang baru sehingga dapat mencegah kerusakan alam lainnya dan tentu menekan laju pemanasan global yang kian hari semakin didengungkan di berbagai belahan dunia.

Pada akhirnya kita memahami bahwa sektor pertambangan di Aceh khususnya tidak terlalu memberikan kontribusi yang menguntungkan secara ekonomi yang merata kepada masyarakat maupun keuntungan untuk terjaganya alam. Oleh karena itu, meskipun saat ini kegiatan pertambangan belum bisa dihapuskan maka perlu langkah kongkrit yang harus dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan dan kerugian materil seperti Pemerintah harus berkomitmen dalam melanjutkan moratorium tambang dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya alam Aceh.

Tentu dalam hal ini pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, butuh komitmen bersama dari berbagai kalangan masyarakat, aktivis LSM dan mahasiswa maupun pers dalam mengawasi dan menjaga komitmen yang tertuang dalam moratorium tersebut. Perlunya moratorium tambang ini agar penerapan tata kelola pertambangan semakin membaik dan diharapkabn dapat mengurangi jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang selama ini tersebar di kawasan hutan konservasi atau hutan lindung, seperti diketahui Aceh adalah wilayah rawan bencana, sehingga perlu penataan kembali praktek tambang secara komprehensif. Salah satu cara yang tepat adalah melanjutkan moratorium izin usaha pertambangan.

*) Penulis adalah alumni Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan (EKP) dan Ilmu Ekonomi Unsyiah

Sumber : AJNN