Kalangan aktivis antikorupsi mempertanyakan kelanjutan penanganan kasus pajak Bireuen yang merugikan keuangan negara Rp27,6 miliar. Vonis terhadap Muslem Syamaun dinilai bukan akhir dari kasus tersebut.
Koordinator GeRAK Aceh Askhlani menyebutkan, tidak masuk akal kalau mantan Bendahara Umum Daerah (BUD) Bireuen Muslem Syamaun melakukan korupsi sebesar itu seorang diri. Dia meyakini pasti ada keterlibatan pihak lain dalam kasus yang merugikan keuangan negara Rp27,6 miliar itu.
Askhalani menjelaskan, kasus pajak Bireuen adalah sebuah kasus yang menyedotkan perhatian publik dari sejak awal penanganan perkara dilakukan oleh aparat hukum. “Bayangkan saja, tarik ulur tentang persamaan persepsi bahwa kasus ini berpotensi korupsi saja membutuhkan waktu yang cukup panjang. Sekian tahuan terus mengemabang sehingga muncul kesimpulan dari KPK bahwa kasus itu berpotensi korupsi dan bukan hanya soal penggelapan pajak,” paparnya.
Seharusnya, lanjut Askhalani, berkaca dari lamanya penanganan perkara maka aparat kepolisian dapat bekerja ekstra untuk mendalami keterlibatan unsur lain dan bukan hanya fokus pada satu orang saja. “Siapapun tahu, kasus pajak ini tidak berdiri sendiri, tapi melibatkan banyak aktor lain yang juga diduga ikut menggunakan uang tersebut untuk kepentingan tertentu,” katanya.
Ditegaskannya, merujuk pada UU No.31/1999 Jo UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sangat jelas pada pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan karena jabatan, wewenang dan memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan kerugian keuangan dan perekonomian negara maka seluruh unsur yang terpenuhi dan diduga ikut terlibat harus dilakukan pengusutan. “Ini bagaian dari upaya penegakan hukum yang sama dan bukan tebang pilih pada unsur atau orang tertentu saja,” paparnya.
Dalam kajian hukum, lanjut Askhalani, maka tidak boleh ada perbedaan dan cara pandang dalam pengungkapan fakta pada pidana khusus, serta tidak boleh menggunakan pendekatan yang penting asal kasus tertangani. “Jadi, secara substansi hukum pidana, kasus ini belum selesai dibuka secara keseluruhan,” akatanya.
Karena itu, GeRAK Aceh mendesak pihak yang menangani perkara untuk berani membuka aktor lain yang ditengarai ikut dan berperan serta dalam mengambil keuntungan dari kasus pajak Bireuen. “Pidana korupsi tidak mengenal proses pendekatan tebang pilih atau pendekatan asal-asalan. Kalau pendekatan seperti ini, maka yang diuntungkan adalah koruptor. Apalagi jika ditemukan unsur yang cukup, maka kasus ini harus dibuka sampai selesai,” tegas Askhalani.
KETERLIBATAN STAF BUD
Saat menjabat BUD Setda Bireuen, Muslem Syamaun memiliki empat orang staf. Satu di antaranya, yakni Afri ditengarai menjadi orang kepercayaaan Muslem. Staf tersebut kerap dipercaya menangani pengeluaran uang dari kas daerah.
Informasi diperoleh Pikiran Merdeka, Afri sering mengusrus keuangan daerah, termasuk uang pajak, saat Muslem berada di luar daerah. Bahkan, saat Muslem berobat di Malaysia selama dua pekan lebih, dia hanya menandatangani dua bundel cek kosong. Sementara proses penarikan dari kas daerah dilakukan Afri dan tanpa diketahui penggunaannya secara jelas oleh Muslem.
Disebut-sebut, persoalan itu pernah diungkapkan Muslem kepada penyidik saat dirinya diperiksa di Polda Aceh. Terkait hal itu, Afri juga pernah dimintai keterangan sebelum kasus tersebut dilakukan ekspos tahap dua oleh penyidik Polda Aceh. Namun, hasil pemeriksaan itu tidak ditindaklanjuti hingga Muslem dijatuhi vonis 15 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Banda Aceh, 18 Januari 2017.
Vonis tersebut dibacakan majelis hakim yang diketuai Badrun Zaini, didampingi Faisal Mahdi dan Mardefni. Muslem Syamaun dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam putusannya, majelis hakim menegaskan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selain menghukum kurungan badan selama 15 tahun, majelis hakim juga mewajibkan Muslem Syamaun membayar denda Rp500 juta. Jika terdakwa tidak membayar denda, maka diganti dengan hukuman penjara selama satu tahun. Selain itu, Muslem harus membayar uang pengganti kerugian negara Rp27,6 miliar setelah dikurangi uang yang dikembalikan terdakwa Rp4,2 miliar.
DIPINJAMKAN
Selain dugaan keterlibatan staf BUD, dalam proses pengusutan oleh penyidik Polda Aceh juga terungkap bahwa sebagian uang pajak itu dipinjamkan kepada sejumlah orang oleh Muslem Syamaun. Setidaknya, ada 24 nama sempat disebut-sebut sebagai peminjam uang tersebut.
Bahkan, belakangan 14 nama di antaranya masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Polda Aceh karena tidak mengembalikan uang itu dan dua kali tidak memenuhi panggilan polisi. “Hingga kini ke 14 orang itu belum mengembalikan uang yang dipinjamkan Muslem Syamaun. Bisa dibilang kami men-DPO-kan mereka, karena tidak mengindahkan panggilan,” kata Kapolda Aceh kala itu, Irjen Pol Iskandar Hasan di aula Machdum Sakti Mapolda Aceh.
Tidak diketahui pasti, apakah mereka sudah mengembalikan uang pajak yang dipinjamkan pada Muslem atau belum? Jika memang masih ada yang belum mengembalikan, akankah mereka menyusul Muslem sebagai tersangka kasus itu?
PROSES PENANGANAN
Muslem Syamaun yang kini berstatus narapidana terjerat kasus tunggakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Rp15 miliar tahun 2007 dan 2008 sesuai temuan BPK. Menurut perhitungan dan pemeriksaan oleh tim Kanwil DJP Aceh dan telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total kerugian kasus ini mencapai Rp51,3 miliar, yaitu Rp27,5 miliar untuk 2007 dan Rp23,8 miliar untuk 2008. Perhitungan itu termasuk denda dan bunga (belum termasuk 2009). Sementara hasil audit BPKP menyebutkan kerugian negara sekira Rp28 miliar.
Jauh sebelumnya, Sabtu 8 Januari 2011, mantan BUD Pemkab Bireuen itu pernah ditahan di Polda Aceh. Setelah 19 hari mendekam di sel polisi, tepatnya 25 Januari 2011, penahanan Muslem ditangguhkan atas jaminan keluarganya.
Selanjutnya, pada 28 Februari 2011, Polda Aceh melimpahkan Berkas Acara Pemeriksaan tahap pertama kasus itu ke Kejati Aceh. Namun, Tim Pidsus Kejati Aceh menyatakan tidak lengkap dan mengembalikan berkasnya ke Polda. Sejak itu, kasus tersebut tidak jelas penuntasannya.
Sempat terendus media, polisi dan jaksa berbeda persepsi dalam menentukan delik hukum untuk kasus pajak Bireuen. Dalam BAP tahap pertama, polisi menjerat Muslem dalam dua delik. Pertama, tersangka dijerat pasal 2, 3 dan 8 Undang-Undang (UU) No.31/1999 yang ubah dengan UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55, 56 KUHP Jo Pasal 64 KUHPidana. Kedua, tersangka dijerat Undang-Undang No.25/2003 tentang pencucian uang.
Sementara menurut Tim Kejati kala itu, delik tindak pidana korupsi tidak ditemukan pada kasus yang menyeret Muslim Syamun. Jaksa berprinsip, kasus pajak Bireuen adalah tindak pidana pencucian uang. Makanya berkas Muslim dikembalikan lagi ke Polda dengan menyatakan belum lengkap yang didahului surat petunjuk (P-18).
Pihak Kejati menilai, polisi tidak berhak mengusut kasus itu. Alasannya, meski kasus itu masuk pencucian uang, tetapi berhubung uang yang dicuci itu hasil pungutan pajak, maka sesuai UU Pajak yang memiliki kewenangan menyelidikinya adalah Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Hal itu didasarkan pada Pasal 44 ayat (1) UU No.8 Tahun 1981 tentang HAP. UU tersebut menyatakan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya dapat dilakukan oleh PPNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
Sekian tahun berlalu, akhirnya Kejati Aceh menerima pelimpahan tahap dua berkas kasus itu pada Agustus 2016. Ats pelimpahan itu, Muslem menjadi tahanan titipan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh sejak 24 Agustus 2016.
Dalam pelimpahan tahap dua itu, Muslem masih saja dijerat dalam dua delik hukum, yakni Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 8 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi jo Pasal 64 KUHP. Muslem juga dijerat Pasal 3 Ayat (1) huruf a, b, dan c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang juncto Pasal 64 KUHP.
Tak berselang lama, kasus itu pun berlanjut ke Pengadilan Tipikor Banda Aceh. Akhirnya, pada 18 Januari 2017, majelis hakim menjatuhkan vonis 15 tahun penjara untuk mantan BUD Bireuen tersebut. Namun, vonis itu dinilai bukan akhir dari kasus pajak Bireuen. Sebab, banyak pihak ditengarai ikut menikmati hasil korupsi yang kini mengantarkan Muslem ke bilik penjara itu.
Kalangan aktivis berharap, kasus itu dapat dibuka kembali dengan menyeret tersangka lain ke bilik penjara. Akankah ini terjadi? Pantas ditunggu kelanjutan kasus yang sempat menyita perhatian publik ini.[]
(sumber : http://www.pikiranmerdeka.co/2017/06/14/kelanjutan-kasus-pajak-bireuen-dipertanyakan/ )