Sebagian besar oknum aparat kita bermain proyek; menekan KPA dan menggulingkan peran kontraktor.
BARU-BARU INI, di Aceh Tamiang, beberapa LSM merecoki dana hibah sebesar Rp20,8 miliar yang bergulir setiap tahun, dari 2017-2019, ke dua lembaga penegak hukum; Polres dan Kejari Aceh Tamiang. Bahkan GeRAK Aceh, lembaga yang konsen di bidang antikorupsi, melaporkan ketidakpatutan itu ke Komisi Antirasuah di Jakarta, Kamis 27 Juni 2019.
Sebenarnya, dana Rp20,8 miliar, tak begitu fantastik jika dibanding rencana usulan anggaran pembangunan gedung baru DPR RI di Senayan Jakarta sebesar Rp5,7 triliun.
Tapi, taukah Anda manfaat jika dana Rp20,8 miliar itu digunakan untuk membangun rumah duafa? Jika asumsi satu rumah duafa Rp65 juta per unit, maka Rp20,8 miliar bisa untuk membangun sekitar 320 unit rumah duafa.
Banyak yang mempertanyakan apa urgensinya APBK Aceh Tamiang setiap tahun memenuhi keinginan dua lembaga vertikal yang setiap tahun juga mendapat kucuran dana dari APBN?
Syahdan, tak masalah juga bantuan lintas daerah diberikan jika ada gedung rusak terdampak bencana. Tapi bukan interior ruangan kepala yang angkanya mencapai Rp369 juta. Sekali lagi, jika dana interior ini dibangun untuk rumah duafa, paling tidak bisa dapat lima unit rumah.
Kaum duafa pun dipastikan langsung merasakan kehadiran negara di situ. Merasakan bahagia bukan kepalang. Meski rumah duafa kecil, sumpek, dan pengap.
Kasus di atas, adalah contoh seupil dari sebuah drama kolosal yang sedang dipertontonkan oknum aparat kita di negeri ini. Tsunami moral tengah melanda oknum aparat kita.
Mengapa ini bisa terjadi? Pada akhirnya, memang, muara dari ilmu berkiblat kepada akhlak; budi pekerti; adab. Seberapa tinggi pun ilmu dan pangkat seseorang, jika akhlaknya rendah, sudah pasti nilai-nilai keilmuannya menjadi rendah. Tak bisa lagi membedakan dan menghitung ulang pantaskah uang rakyat digunakan untuk bancakan? Pantaskah abdi negara menindas, memeras, dan memperlakukan tidak adil kepada rakyatnya?
Bukan rahasia pula bahwa di era kini, selain mendapat fasilitas dari negara lewat keringat pajak rakyat, kebanyakan oknum aparat penegak hukum kita beramai-ramai berburu proyek APBK, APBA, dan APBN. Ini terjadi hampir di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
Dalam praktiknya, oknum petinggi aparat penegak hukum kita di daerah, secara faktual sudah menggeser peran kontraktor sebagai pelaku dunia usaha.
Mereka, para oknum ini, semakin tak peduli dengan adab. Apalagi cuma kode etik internal yang sifatnya situasional. Jika kebutuhan birahi proyeknya tak dipenuhi, para oknum ini tak sungkan menekan, meneror, bahkan memenjarakan para pengelola keuangan di daerah.
Oknum-oknum inilah perampok dan teroris yang sesungguhnya. Mengejar jabatan strategis bukan demi mengabdi kepada rakyat, daerah, dan negara, tetapi mengabdi kepada harta, tahta, dan wanita.
Hampir tak ada yang berani menjamah kelakuan nakal para oknum ini. Mereka begitu perkasa berlindung di balik seragam penegak hukum, sekalipun ketika sedang membelokkan hukum.
Karena, oknum-oknum aparat ini, tak lagi memedulikan adab/akhlakul karimah. Meski, jamuan tak beradab yang terus diburu itu bakal menjadi warisan terburuk bagi anak cucunya kelak. Ketika oknum aparat itu telah purna dan mati. Oh my god!
Sumber : KBA.ONE