BANDA ACEH – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mengkritisi mekanisme pengusulan anggaran dalam pembelian pesawat yang diusulkan Pemerintah Aceh dalam KUA-PPAS APBAP 2017, dengan sistem pembayaran panjar Rp 10 miliar.
“Anggaran daerah tidak bisa langsung tiba-tiba, harus ada plening, kenapa disebut ada penganggaran berbasis plening. Berbasis plening indikator yang diukur adalah kinerja dan pengusulannya harus melalui usulan yang berjenjang, mulai dari sudah ada kajian, sudah ada penyiapan. Kenapa itu diperlukan, apakah kemudian barang yang dibeli itu sudah sesuai dengan tupoksi wilayah dan sebagainya, itu harus diukur dulu,” kata Fernan kepada AJNN, Minggu (24/9).
Baca: Penolakan Program Pembelian Pesawat dan Tsunami Cup Terus Mengalir
Kemudian, kata Fernan, masuk pada tahap rancangan kegiatan yang akan diusul, tidak boleh dengan tiba-tiba mengusulkan anggaran, seperti mata anggaran pembelian pesawat. Orang akan berpikir untuk apa pesawat, karena Aceh belum terlalu familiar terhadap pesawat.
“Soal kemudian ada orang yang sudah dilatih 15 orang untuk kepentingan sekolah penerbangan, itu hal lain menurut kami memang menjadi tanggung jawab pemerintah mau dibawa kemana sumber daya yang ada ini, makanya tetap kalau memang pra syarat untuk membeli pesawat itu dibutuhkan harus ada kajian terlebih dahulu,” jelas Fernan.
Di Indonesia, kata Fernan, tidak ada yang menganut sistem penunjukan model memberikan panjar dimuka ketika membeli barang. Kemudian, dalam peraturan pengadaan barang dan jasa di Indonesia, anggaran yang mencapai miliar rupiah seperti pembayaran panjar pesawat, harus dilakukan proses tender terbuka, bukan dengan cara penunjukan langsung.
“Harus ada pelelangan dulu, tidak ada penunjukan langsung. Dasar hukum apa yang dipakai Pemerintah Aceh untuk penunjukan langsung pembelian pesawat itu. Ini harus hati-hati,” jelasnya.
Tak hanya itu, Fernan juga mempertanyakan perusahaan yang ditunjuk untuk pembelian pesawat yang berasal dari luar negeri. Menurutnya masih ada perusahaan di Indonesia yang mengurusi masalah pesawat, seperti Dirgantara Indonesia (DI).
“Kalau DI tidak mampu membuat, baru boleh mengambil sesuatu dari luar. Tetapi kalau ada barang dalam negeri, untuk apa mengambil dari di luar. Ini bisa menyebabkan terjadinya hitung-hitungan secara ekonomis dan efesiensi anggaran. Contoh apa karena ada sesuatu kemudian perusahaan itu langsung ditunjuk, tidak boleh seperti itu, itu uang rakyat,” tegas Fernan.
Solusinya, kata Fernan, Pemerintah Aceh harus menahan diri untuk pembelian pesawat di tahun ini. Fokus dulu pada kajian, seperti menyiapkan master administrasi, agar barang yang sudah dibeli bisa digunakan dengan baik.
“Jangan sampai setelah dibeli tidak bisa dipakai. Ini harus dipersiapkan dengan matang. Niat cukup bagus untuk mengawal laut dan hutan, tapi hati-hati, niat yang bagus belum tentu dalam implementasi, karena ada hirarki undang-undang yang kalau dilanggar itu beresiko melahirkan temuan yang akan menyebabkan si pengusul itu menjadi tersangka,” ungkap Fernan.