ACEH BARAT – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat terus mendukung upaya penegakan hukum dalam kasus pengelolaan Program Peremajaan (Replanting) Sawit yang saat ini telah dilakukan upaya penyidikan oleh pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh.
Koordinator GeRAK Aceh Barat Edy Syahputra kepada AJNN mengatakan bahwa dukungan yang diberikan pihaknya agar pengusutan kasus tersebut dapat dilakukan secara utuh.
“Tentunya, kita mendukung upaya pengusutan secara utuh dan tidak sepenggal-penggal terkait dugaan adanya indikasi kerugian negara dalam program Replanting Sawit tersebut,” ujar Edy Syahputra, Selasa (22/6/2021) dalam keterangan pers kepada AJNN.
Menurut Edy, Replanting Sawit merupakan program hibah Kementerian Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian sebesar Rp.25 juta/orang/Kepala Keluarga (KK) untuk Program Replenting Sawit (Peremajaan Sawit) di sektor perkebunan sawit rakyat.
Dan berdasarkan Keputusan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Nomor Kep-167/DPKS/2020 Tentang Besaran Standar Biaya Dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Yang Dibiayai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit meningkat menjadi Rp 30.000.000.- per hektar.
Namun yang menjadi sorotan dari pihak GeRAK Aceh Barat menurut Edy adalah perihal Surat Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Nomor: 1365/PW.120/E.4/11/2020 tanggal 19 November 2020 perihal Permintaan Data Terkait Lahan Dalam Rangka PDTT BPK-RI Peremajaan Kelapa Sawit.
Dalam surat tersebut menyebutkan surat tugas BPK-RI Nomor 103/ST/VI/10/2020 tanggal 02 Oktober 2020 terkait Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu atas Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Tahun 2018, 2019, dan 2020 (sampai dengan Triwulan III). Dalam surat tersebut disebutkan ada empat item kegiatan yang berpotensi atau diduga bermasalah dan menimbulkan kerugian negara.
Empat item yang berpotensi bermasalah dan bisa menimbulkan kerugian negara tersebut kata Edy seperti lahan pekebun terindikasi masuk dalam Kawasan hutan dan HGU perusahaan, lahan terindikasi tidak sesuai kriteria peremajaan/bukan lahan sawit dan lahan terindikasi tumpang tindih antara pekebun dengan pekebun lain dan/atau beririsan dengan lahan pekebun lainnya.
Kemudian adanya lahan yang alas haknya berupa sertifikat hak milik (SHM) atau legalitas lahan lainnya yang terindikasi luasannya tidak sesuai antara luas usulan dengan luas yang luas yang sebenarnya dilapangan.
Empat item tersebut menurut Edy jika bila dilihat dari program yang dilaksanakan pada tahun 2018 hingga 2020 awal, maka nilai Rp 25 juta/orang/KK. Pertama, lahan pekebunan kelapa sawit di dalam area HGU Perusahaan Kelapa Sawit swasta dengan dengan jumlah total mencapai 190,13 hektar. Total angkanya mencapai nilai Rp 4.75 miliar untuk Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare di Kabupaten Aceh Barat.
Sedangkan untuk Kabupaten Nagan Raya yaitu Koperasi Jasa Seupakat Makmue Beusare mencapai 8,43 hektare, bila dikalikan dengan angka Rp 25 juta maka jumlahnya adalah Rp 210 juta.
Kedua, lahan perkebunan yang diduga masuk dalam kawasan hutan, untuk Kabupaten Aceh Barat yaitu Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare dengan jumlahnya mencapai 197,29 hektare dengan jumlah produksinya mencapai 61 hektare dan indikasi kerugiannya yaitu mencapai Rp1.5 miliar.
“Yang menjadi pertanyaan, kemana dibawa ratusan kubik kayu hasil penebangan Kawasan hutan tersebut,” ujar Edy.
GeRAK Aceh Barat menurut Edy juga mendesak pihak penegak hukum untuk melakukan audit investigatif guna mengetahui berapa banyak kayu olahan dari hutan yang ditebang oleh pihak koperasi dan siapa yang menjual serta menampung kayu olahan tersebut.
“Patut kami duga, kegiatan penembangan hutan yang dilakukan oleh pihak koperasi telah menimbulkan potensi kerugian negara di sektor kehutanan dan kami juga mendesak pihak kejaksaan untuk memanggil dinas atau otoritas terkait,” ujarnya.
Edy juga berharap penindakan hukum terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut bisa meminimalisir potensi kerugian besar. Dimana disebutkan bahwa kajian teranyar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan, kerugian negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kayu komersial yang tak tercatat, mencapai nilai fantastis hampir Rp 900 triliun dalam periode 2003-2014.
“Patut diingat bahwa potensi kerugian negara bersumber dari nilai komersial kayu tidak tercatat. Tentunya ini menjadi penting untuk segera menghitung nilai ini karena hasil hutan kayu pada kawasan hutan di bawah pemerintah merupakan aset negara,” kata Edy.
Menurut Edy, bila mengacu kepada aturan hukum, kayu tidak tercatat menjadi aset negara yang dicuri, dan uang hasil penjualan kayu ini dapat dianggap kerugian negara dan hasil kejahatan (processed of a crime).
Edy juga mengatakan bahwa penggunaan harta hasil kejahatan pembalakan liar atau tidak mempunyai izin penebangan kayu dapat dikriminalisasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122).
Aturan lain juga diperkuat dengan lahirnya Renstra KPK 2011-2015 menetapkan sektor SDA/Ketahanan Energi menjadi salah satu fokus area pemberantasan korupsi, Sektor Kehutanan merupakan salah satu sektor yang termasuk didalamnya.
Kemudian ada juga Nota Kesepakatan Bersama Tentang Gerakan Nasional Penyelematan Sumberdaya Alam Indonesia yang ditandatangani oleh 27 Kementerian/Lembaga dan 34 Provinsi pada tanggal 19 Maret 2015. Deklarasi Penyelamatan Sumberdaya Alam Indonesia yang ditandatangani oleh Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung RI, dan Ketua KPK pada tanggal 19 Maret 2015.
Edy juga menyebutkan bahwa lahan perkebunan sebelum kegiatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) bukan merupakan kebun sawit. Dari data tersebut, untuk Aceh Barat luas hektarnya mencapai 2.837,54. Bila dikalikan dengan harga Rp. 25 juta maka total nilainya mencapai Rp. 70 miliar sekian.
“Tentunya ini perlu penjelasan yang lebih mendetail dari pihak terkait, mengingat angkanya begitu besar. Apakah lahan perkebunan PSR bukan merupakan lahan sawit tersebut sudah kesemuanya dikerjakan atau tidak,” kata Edy.
Kemudian adanya data tumpang tindih lahan, untuk Kabupaten Aceh Barat kata Edy berada dibawah Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare, dengan luas lahannya yaitu 70,75 hektare. Bila dikalikan dengan Rp 25 juta maka nilainya mencapai Rp. 1.76 miliar.
“Apakah lahan perkebunan PSR bukan merupakan lahan sawit tersebut sudah kesemuanya dikerjakan! Kemudian dalam hasil audit tersebut juga menyebutkan tentang data lahan beririsan, dimana untuk Kabupaten Aceh Barat berada dibawah Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare dengan luas lahan yaitu 113,09 hektare.
Bila ditotal, menurut Edy, secara keseluruhan angkanya mencapai Rp18 miliar lebih, namun menurutnya itu belum termasuk hasil hitungan lahan perkebunan sebelum kegiatan PSR bukan merupakan kebun sawit, yang angkanya mencapai Rp 70 miliar lebih
“Itu tidak termasuk total loss untuk kayu yang ditebang dan kami duga tidak mendapatkan izin dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh. Sekali lagi, ini patut dipertanyakan, dan bila kemudian terindikasi adanya pihak penegak hukum yang terlibat dalam hal ini, atau dalam pengelolaan program replanting sawit tersebut, maka sepatutnya ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum di republik ini,” ungkap Edy.
“Kami akan mengawalnya dan akan segera melaporkan hal ini kepada pihak penegak hukum di provinsi, hingga pusat, tidak terkecuali Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Bila diperlukan kami juga akan menyurati pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi,” ujar Edy menambahkan.
Sebelumnya Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Aceh, H. Munawal Hadi, mengatakan bahwa pada tahap proses penyidikan, tim penyidik Kejati Aceh telah melakukan permintaan keterangan dan pengumpulan data dari pihak-pihak terkait diantaranya pihak Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan.
Kemudian pengumpulan data dan permintaan keterangan juga dilakukan terhadap Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pihak Dinas Pertanian Provinsi Aceh, pihak Dinas Perkebunan Kabupaten Nagan Raya, pihak Koperasi Perkebunan Sejahtera Mandiri dan pihak ketiga yang melakukan kerjasama dengan Koperasi Perkebunan Sejahtera Mandiri.
Munawal menjelaskan dugaan tindak Pidana korupsi pada kasus tersebut dilakukan dengan cara tim peremajaan Dinas Perkebunan Kabupaten Nagan Raya, tidak melakukan verifikasi kebenaran Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Sehingga, legalitas lahan yang sebagian besar hanya berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang ditandatangani oleh Kepala Desa diragukan kebenarannya, karena berpotensi masuk kedalam wilayah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan dan kawasan hutan seluas 500 hektar. Hal itu berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,5 miliar.
Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/gerak-aceh-barat-dukung-penegakan-hukum-dugaan-korupsi-replanting-sawit/index.html.