Banda Aceh (Waspada Aceh) – Fenomena penambangan emas ilegal masih marak terjadi di Aceh. Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) mendorong pemerintah daerah maupun penegak hukum untuk memperbaiki tata kelola kebijakan dalam mengatasi pertambangan tanpa izin (PETI) secara komprehensif.
Kepala Divisi Advokasi Kebijakan Publik Gerakan Anti Korupsi (GeRAK), Fernan mengatakan kepada Waspadaaceh.com, pemerintah perlu melakukan upaya lebih dalam mengatasi permasalahan pertambangan emas ilegal tersebut.
“Kita sangat menyayangkan, pemerintah maupun penegak hukum. Meskipun sudah melakukan upaya secara masif, namun pada kenyataannya praktek pertambangan ilegal terus terjadi. Bahkan indikasinya terus meluas,” kata Fernan, Kamis (17/6/2021).
Fernan menjelaskan, tentu upaya selama ini belum menyelesaikan masalah di lapangan. Persoalan tambang ilegal ini sangat komplek, sehingga perlu pendekatan yang komplek juga, dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap masyarakat lokal.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh pada September 2018, terdapat kawasan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) seluas 1.534,25 hektare yang tersebar pada enam kabupaten di Aceh. Bahkan ia mengungkapkan hingga saat ini menurut pelacakan citra satelit, titik kawasan penambangan ilegal semakin meluas.
Tapi anehnya, kata dia, terdapat empat sampai enam titik terindikasi PETI di wilayah izin usaha pertambangan legal. Itu tentu ada perbedaan tindakan penegakan hukum yang perlu dilakukan.
“Hingga saat ini, titik penambangan ilegal semakin meluas, kita melacak melalui citra satelit, titik tambang baru bermunculan,” tuturnya.
Fernan juga menjelaskan, perkiraan kerugian negara pada Tahun 2018 mencapai sekitar Rp500 miliaran dari potensi yang dihasilkan pertambangan emas ilegal tersebut.
“Kalkulasi kita di tahun 2018, sebenarnya ada potensi dari uang yang menguap pertahunnya sampai Rp500 miliaran lebih. Itu potensi yang dihasilkan dari pertambangan ilegal yang kita hitung di satu kabupaten saja. Bayangkan kalau jumlah ini dapat diakomodir oleh pemerintah melalui regulasi resminya. Maka ada berapa persen yang masuk ke negara dan diturunkan ke provinsi maupun kabupaten/kota,” ungkapnya.
Hal semacam itu, katanya, perlu menjadi perhatian, tak hanya pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah. Pasalnya, sumber daya mineral yang dieksploitasi secara ilegal berpotensi menghilangkan sumber pendapatan negara dan daerah. Jika tidak diantisipasi menjadi kerugian negara dari sumber daya alam yang salah kelola.
Fernan mengatakan perlu ada solusi untuk menyelesaikan pertambangan ilegal ini yang berpihak kepada keadilan bagi masyarakat lokal. Untuk itu, Kepala Divisi Advokasi Kebijakan Publik GeRAK , Fernan mendorong pemerintah untuk mencari alterantif guna penyelesaian secara komprehensif. Di antaranya membentuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk mengakomodir Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diakui perundang-undangan. Pemda perlu andil untuk melakukan pembinaan kelompok dari masyarakat lokal.
“Jangan sampai salah kaprah juga, dimanfaatkan oleh cukong besar yang mengambil manfaat,” ujarnya.
Ia mengatakan belum ada kabupaten yang memiliki Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Untuk itu ia mendorong agar bisa dibentuk WPR tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk koperasi, BUMG atau perorangan.
“Belum ada kabupaten yang ada WPR-nya. Meskipun ada kabupaten yang memberi ruang di RTRW-nya. Kita mendorong dibentuknya Wilayah Pertambangan Rakyat, dan itu bisa digunakan untuk koperasi, BUMG atau perorangan, tentunya dengan proses yang ramah lingkungan,” jelasnya.
Dia menambahkan, selain itu altarnatif lain dengan skema peluang join operation yaitu kerjasama pemegang IUP dengan Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) atau koperasi maupun orang per orang. Model ini sudah ada contoh suksesnya. Bahkan katanya, pada kenyataan selama ini banyak juga izin resmi yang tidak melakukan apa-apa di lapangan, apalagi dalam kondisi COVID-19.
“Hal ini menjadi alternatif, agar bisa mempertimbangkan masyarakat lokal yang mata pencahariannya sebagai penambang, atau disalurkan melalui BUMG, koperasi atau orang perorangan. Kalau skemanya seperti ini, jika terjadi pelanggaran atau kerusakan lingkungan, maka perusahaan lah yang diminta bertanggungjawab,” ungkapnya.
Kata Fernan, Pemerintah Aceh saat ini juga sudah menyatakan diri terkait kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di Aceh sebagaimana Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 pasal 156 tentang Pemerintah Aceh.
“Kalau memang Aceh ingin mengelola, ini saat yang tepat untuk membereskan masalah ini. Buktikanlah kalau Aceh mampu mengelola pertambangan secara berdaulat,” kata Fernan. (Cut Nauval Dafistri)
Sumber : waspada.com