BANDA ACEH – Koordinator Gerakan Antikorupsi Aceh (Gerak) Aceh, Askhalani, mengatakan kualitas berbangsa dan bernegara sangat tergantung pada pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah yang demokratis. Karena itu pihaknya mendorong semua elemen dalam mengawal pilkada yang demokratis.
“Termasuk dengan meminta masukan dari para akademisi untuk dituliskan dalam policy brief yang bakal diserahkan kepada penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan lain,” kata Askhalani di sela-sela diskusi dengan akademisi dalam mengawal proses Pilkada 2024 transparan dan akuntabel di kampus UIN Ar-Raniry, Selasa, 20 Agustus 2024.
Askhalani mengatakan kegiatan ini merupakan bagian dari upaya kolaborasi GeRAK Aceh dan akademisi di UIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala. Kegiatan ini adalah bagian dari progam demokrasi resilience di GeRAk yang berfokus pada isu pemilu dan pilkada.
Askhalani mengatakan kegiatan ini juga menggandeng banyak pihak, seperti kelompok pemuda, kelompok disabilitas, kelompok perempuan, AJI Banda Aceh. Mereka juga menggelar diskusi bersama LKHP Muhammadiyah Aceh.
Dalam kesempatan itu, wakil dekan dua fakultas ilmu sosial dan ilmu politik UIN Ar-Raniry, Muhammad Thalal, mengapresiasi langkah yang digagas Gerak Aceh. Thalal mengatakan dinamika politik satu tahun terahir, mulai dari persiapan pemilu hingga nanti pilkada, terjadi praktik kecurangan yang masif.
Hal ini, kata Thalal, mendorong pandangan buruk terhadap politik dan ini sangat merugikan. Bahkan, kata dia, jumlah pelajar yang berminat memelajari politik di fakultas itu menurun. Karena itulah peran akademisi penting untuk mengedukasi dan mengawal demokrasi Aceh, khususnya pada pelaksanaan pilkada nanti.
Effendi Hasan, akademisi., mengatakan pilkada seharusnya menjadi kedaulatan rakyat dalam memilih kepala daerah. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, demokrasi melahirkan pemimpin tidak berkualitas. Semua ini didorong oleh praktik kotor politik uang.
“Sehingga orang memilih bukan karena gagasan, semua karena uang. Maka ketika terpilih, pemimpin itu fokus untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan dan mengesampingkan kepentingan rakyat,” kata Effendi. Effendi mengatakan politik uang bukan cuma budaya. Praktik kotor itu menjadi virus yang membunuh demokrasi.
Akademisi lain, Ramzi Murziqin, mengatakan politik uang mendorong peningkatan partisipasi masyarakat untuk memilih. Namun perlu dikaji lebih dalam alasan masyarakat memilih, karena dorongan uang atau kesadaran sendiri.
“Hari ini politik uang menjadi hal wajar. Maka masukan dari para akademisi benar-benar dibutuhkan. Sehingga dapat memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar pilkada benar-benar menghasilkan pemimpin berkualitas,” kata Ramzi.***
Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/.