Oleh: M.Rizal, SH
Negara indonesia merupakan negara Demokrasi dimana pemerintah merupakan jelmaan dari rakyat. Menurut Abrahan Lincoln (1863) Demokrasi adalah government of the people, by the people, and for the people yang artinya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitu pula dengan Aceh sebagaimana Pemerintah merupakan wujud dari masyarakat Aceh dimana setiap masyarakat memiliki hak dan kewajiban, termasuk berhak menagih hutang.
Dalam sistem hukum di Indonesia telah membagi subyek hukum dalam 2 bagian, yaitu; (1) Mausia (naturlife persoon) dimana setiap orang perorangan merupakan subyek hukum, (2) Badan Hukum (recht persoon). Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status “persoon” oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Tak jarang pula badan hukum (perusahaan) memiliki hutang terhadap pemrintah.
Dalam islam hutang merupakan dosa yang sangat besar bahkan Allah mengampuni seluruh dosa orang yang mati syahid kecuali dosa seorang penghutang selain dengan membayarnya kepada pihak piutang. Dalam suatu hadist dinyatakan ““Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (H. R. Ibnu Majah). Begitulah dosa para penghutang.
Lalu bagaimana dengan perusahan yang berhutang, tentunya tak mungkin peruhaan hidup tanpa dikendalikan oleh orang sebagi penanggungajawab dari perusahaan tersebut. Tanggung jawab seseorang berkait erat dengan kewajiban yang diembannya. Makin tinggi kedudukan seseorang, makin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin bertanggung jawab atas prilaku diri dan orang-orang dibawah pengampuannya. Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya..”(Al Hadits). Sehingga timbullah hubungan hutang antara orang sebagai penanggungjawab perusaan dengan pemerintah sebagi wujud dari rakyat. Sehigga timbullah hubungan hukum antara pihak yang berhutang dengan yang berpiutang. Hutang tidak hanya dipahami sebagaimana seseorang meminjam uang kepada orang lain tetapi hutang juga merupakan semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi.
Hutang Perusahaan Tambang di Aceh
Aceh merupaan daerah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, bahakn Aceh dipandang bisa hidup lebih sejahtera dibandingkan daerah lain dari kekayaan alam yang dimilikinya. Pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal secara maksimal tentulah menjadi harapan msyarakat dan pemerintah Aceh. Didalam Udang-undang Dasar 1945 menegaskanhaya ada satu tujuan pengelolaan sumber daya alam, iya tak lain hanyalah untuk kemakmuran rakyat, sebagai mana disebutkan dalam Pasal 33 ayat 3 ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Namun tak dapat dipungkiri banyak pula pengusaha tambang yang membangkang.
Berbagai permasalahan tambang muncul, mulai tahapan pengurusan izi, proses Eksporasi, proses Ekspoitasi, tunggakan PNBP hingga kewajiban laninnya pasca tambang. Terbukti Aceh telah mengeluarkan 138 Izin Usaha Pertamangan (IUP) sejak tahun 2014 namun hanya tersisa 30 IUPdi tahun 2018. Pemerintah telah mencabut 108 IUP bermasalah dalam rentan waktu 2015 hingga 2018.
Dosa yang hingga kini belum terlunasi yaitu tunggakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang seharusnya dibayarkan oleh perushan tambang kepada negara sebagai feeback dari izin yang telah diberikan. Tunggakan PNBP tersebut berjumlah 59,78 Miyar yang bersumber dari iuran tetap (landrent) dan iuran produksi (royalti) dimana terdiri dari 41 Milyar yang berasal dari 128 IUP yang telah berakhir masa berlakunya dan 30 IUP yang sampai sekarang masih aktif, dimana sampai saat ini masi menjadi piutang Pemerintah ( sumber: http://data.gerakaceh.id/).
Hutang tersebut tak bisa dianggap sepele karena setiap tahunnya akan terus bertambah 2% dari total hutang yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan, dan tak bisa dibiarkan pula karena menyangkut kedaulatan hukum indonesia yang tetap harus dijunjung hingga akhir hayat. Jika hal tersebut dibiarkan seolah-olah indonesia tidak memiliki aturan yang pasti dalam pengelolaan pertambangan, maka akan semakin banyak lagi perusahaan-perusahaan yang membangkang.
Islam menganjurkan kita untuk menagih hutang meski dengan cara lemah lembut sebagaimana dimaksud pada hadis ini “Jika yang punya hutang mempunyai iktikad baik, maka hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. Boleh menyuruh orang lain untuk menagih utang, tetapi terlebih dulu diberi nasihat agar bersikap baik, lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim). Maka untuk itu tak perlu malu untuk menagih hutang.
Pemerintah harus menegejar perusahaan yang mangkir dari kewajibannya membayar PNBP baik bagi perusaan yang masih aktif maupun bagi perusaan yang izinnya sudah berakhrit, dimana setiap perusahaan wajib membayar tunggakan PNPB sebagaimana tercantumdalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 dimana Wajib Bayar (perusahaan) yang tidak menyampaikan laporan PNBP yang terutang atau menyampaikan laporan PNBP yang terutang tapi tidak benar/tidak lengkap/melampirkan keterangan yang tidak benar/tidak melampirkan keterangan yang benar sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidanan dengan kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak sebesar dua kali dari jumlah PNBP yang terutang. Walaupun perusahaan dapat menajukan keberatan secara tertulis kepada Instansi terkait terhadap PNBP yang terhutang, namun pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PNBP yang terutang dan pelaksanaan penagihan.
*M.Rizal,SH, Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiahkuala
Sumber : AcehWow.com