Upaya Manusia Menjaga Keseimbangan Karbon

Oleh : Evan Saputra

Pernahkan kita terbayang bahwa beras atau nasi yang kita jadikan bahan makanan setiap hari, yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Asia, semakin berkurang nutrisi yang terkandung di dalamnya? Percaya atau tidak, setidaknya itulah yang dipublikasi oleh world economic forum. Penyebabnya adalah terpapar polusi atau korbondioksida (C02) yang berlebihan pada tanaman. Tentunya kondisi ini akan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat yang mengandalkan beras sebagai makanan pokoknya.

Sebagai pengetahuan saja, bahwa bumi, alam secara alamiah, telah menghasilkan dan melepaskan karbondioksida (CO2) yang ditransfer dari letusan gunung merapi ke atmostfer, pernapasan hewan dan manusia dan pembakaran material organik seperti tumbuhan. Namun demikian jumlah yang dilepaskan secara alamiah ini setara dengan jumlah CO2 yang diurai oleh iklim dan angin yang pada akhirnya terikat di kerak bumi. Selain itu, karbon, secara alamiah, juga berkurang terserap oleh lautan dan diserap oleh tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis yang memecahkan karbon dan melepaskan oksigen ke atmostfer.

Tanpa campur tangan manusia, bumi dengan sendirinya telah menghasilkan pemanasan global yang kemudian bisa diseimbangkan oleh siklus kondisi bumi sendiri sehingga keseimbangan unsur karbon tetap terjaga. Namun kondisinya berbeda jika manusia berkontribusi pada upaya ketidakseimbangan siklus keberlangsungan unsur karbon.
Pada 1700 an manusia telah menemukan sumber bahan bakar baru yang bisa digunakan untuk menggerakkan perangkat mesin untuk mendukung mobilitas manusia di atas permukaan bumi. Bahan bakar yang dihasilkan dari fosil dan terkubur di dalam perut bumi tersebut mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia.

Bahan bakar fosil yang pembakarannya menghasilkan karbon ini (minyak, gas bumi dan batu bara) menjadi komoditas yang hampir seluruh negara bergantung pada penggunaannya untuk kelangsungan kehidupan warganya. Penggunaannya meliputi penggerak transportasi, aktifitas industri dan bahkan konsumsi rumah tangga.

Dalam dunia perdagangan, minyak bumi sebagai komoditas utama kebutuhan dunia saat ini, mengenal istilah barel untuk satuan penjualan. Satu barel sama dengan 159 liter dan dijual kira-kira saat ini berkisar $ 75/barel (Brent Crude Oil 28/05/2018). Pada tahun 2015, konsumsi dunia mencapai 92,8 Barel Per Hari (bph). Negara konsumen terbesarnya adalah Amerika Serikat (19 juta bph) menduduki peringkat pertama, kemudian diikuti oleh Tiongkok (11,1) dan Jepang (4,3 juta bph) di posisi ketiga.

Dalam kesepakatan Paris (Paris Agreement) 2015, 187 negara – negara di dunia – kecuali Amerika Serikat yang keluar belakangan – menyepakati untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat, diatas tingkat pra industri (Revolusi Industri) dan bahkan berupaya membatasinya menjadi 1,5 derajat celcius. Pemerintah Indonesia berkomitment dalam kesepakatan ini untuk menurunkan 29% emisi rumah kaca secara mandiri dan 41% bila dengan bantuan internasional hingga tahun 2030.

Tantangan utama dalam mencegah perubahan iklim dengan menekan laju kenaikan suhu global adalah kebutuhan manusia yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk bumi. Namun upaya – upaya penahanan laju kenaikan suhu dan pencegahan perlu dilakukan secara bersama dan berkelanjutan.

Pertama, Pengurangan penggunaan bahan bakar fossil. Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil (minyak, batu bara dan gas) perlu dikurangi secara bertahap baik penyediaan oleh pemerintah maupun secara penggunaannya oleh masyarakat. Peralihan ke sumber energi yang ramah lebih lingkungan adalah solusi untuk keberlangsungan kehidupan.
Salah satu sebagai contoh komitment pengurangan adalah apa yang dilakukan pemerintah India yang mengumumkan, pada tahun 2020 akan menghentikan secara total penggunaan batu bara sebagai sumber energinya. Untuk diketahui, India merupakan negara Kelompok Ekonomi 20 (G20) yang sangat bergantung selama ini pada penggunaan batu bara selain impor minyak bumi. Untuk diketahui saja, bahwa langkah positif India tentunya berdampak bagi perekonomian Indonesia selaku negara ekportir batu bara selama ini.

Pengurangan bahan bakar fossil dapat dilakukan dengan, misalnya, membatasi penggunaan energi listrik – yang masih bersumber dari penggunaan batu bara, konsumsi bahan bakar kenderaan bermotor, penggunaan Air Conditioner (AC) baik di rumah maupun kantor dan bahkan penggunaan mesin yang berbahan bakar diesel.
Kedua, Pemanfaatan Energi Terbarukan. Pengurangan penggunaan energi fossil perlu diselaraskan dengan beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan sebagai solusi yang telah diterapakan oleh beberapa negara untuk menahan laju pemenasan global. Beberapa contoh energi terbarukan yang telah dikembangkan adalah pemanfaatan energi matahari melalui panel surya, Hydropower atau pemanfaatan tenaga air, dan pemanfaatan tenaga angin bahkan gelombang laut.

Indonesia secara umum memiliki potensi dan peluang yang sangat bersar untuk membangun sumber energi yang ramah lingkungan. Hampir di setiap wilayah Indonesia memiliki sumber air, angin, cahaya matahari dan bahakan panas bumi (geothermal) untuk dikembangkan dan dimanfaatkan.

Pemanfaatan sumber energi terbaru setidaknya dapat menutup peluang secara bertahap explorasi dan produksi lahan-lahan atau ladang minyak yang baru di seluruh Indonesia. Penghentian pencaraian terhadap ladang minyak dan ladang batu bara secara otomatis akan singkron dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement untuk menekan laju pemenasan global. Selain itu, penggunaan energi terbarukan juga melahirkan sikap yang konsisten dan berkelanjutan dari pemerintah indonesia.

Ketiga, Pengembalian Fungsi Hutan. Baik dalam konteks Aceh mapun Indonesia secara nasional, pengembalian fungsi hutan yang selama ini menjadi lokasi produksi tambang batu bara, dan juga mineral, dapat membantu menyeimbangkan unsur karbon yang dilepaskan ke atmosfer bumi.

Lebih konkret, pengembalian fungsi hutan ini salah satunya dapat dilakukan dengan mengkaji kembali izin usaha perusahan tambang yang belum memenuhi persyaratannya atau non Clear and Clear (CnC) di samping juga tidak memberikan banyak pemasukan terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Sejak tahun 2014, pemerintah Aceh telah melakukan moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk memperbaiki tata kelola tambang yang banyak bermuncul dan bermasalah sejak pasca Perdamaian Aceh. Moratorium efektif mengurangi izin usaha yang bermasalah terhadap lingkungan di samping tidak secara signifikan memberikan kontribusi pada pendapatan daerah.

Sejak 2014 hingga Mei 2018, 108 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah telah dicabut oleh Pemerintah Aceh. Saat ini, per Juni 2018 tersisa 30 IUP yang CnC. Selain mengurangi izin usaha, moratorium juga menyelamatkan lahan/hutan akibat deforestasi selama moratorium sejumlah 751.481,21 hektar yang bisa dikembalikan fungsinya ( sumber: http://data.gerakaceh.id/).

Baik secara lokal maupun nasional, pengembalian fungsi hutan tidak sebatas pencabutan izin usaha tambang, namun juga pemanfaatan lahan- lahan tersebut agar bisa kembali berfungsi layaknya hutan di samping juga tetap menjaga kelangsungan hidup masyarakat setempat.

Selain sektor pertambangan, kebijakan dari sisi konsumen yaitu masyarakat Uni Eropa yang akan melarang total penggunaan biodiesel berbahan baku Cruide Palm Oil (CPO) dan turunannya pada tahun 2020 di satu sisi memberikan komitment postif untuk keselamatan lingkungan dan di sisi lain bagi Indonesia perlu diantisipasi lebih dini mengingat CPO adalah komoditas utama ekspor. Ribuan orang yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit akan berdampak terutama sekali pada jatuhnya harga sawit akibat hilangnya pasar Eropa.

Sebagaimana telah diungkapkan Dewan Uni Eropa bahwa alasan utama pelarangan tersebut adalah dilihat dari pembukaan lahan perkebunan sawit yang menyebabkan deforestasi yang massif, sebagai konsumen CPO, Uni Eropa merasa bertanggungjawab terhadap lingkungan untuk kelangsungan hidup yang berkelanjutan.

Di saat negara-negara maju sudah mulai menghentikan ketergantungan terhadap penggunaan bahan bakar yang berpotensi merusak lingkungan, bukankah sudah seharusnya kita memikirkan dan menawarkan sesuatu yang lebih sustainable ?!.

* Evan Saputra, Pemerhati Isu Sosial dan Lingkungan. Email: esap91@gmail.com

Sumber : AcehWow.com