Mulai seleksi hingga kurikulum, perbedaan nyaris selalu ada. Cara boleh saja tak sama, namun tujuan sekolah antikorupsi tetap seia dan sejalan.
Tak banyak yang tahu, inilah kaitan antara Pendidikan Kaum Terindas dan sekolah antikorupsi. Buku karya Paulo Freire itu banyak menyebut, hubungan kontradiksi antara guru dan murid. Pendidik adalah para penindas dan murid adalah golongan tertindas. Guru sebagai penabung dan murid adalah celengannya.
Yang jadi pertanyaan, dimana korelasinya? Tak ada hubungan langsung memang. Namun, bagi Sekolah Antikorupsi Indonesia Corruption Watch (Sakti ICW), ternyata buku terbitan Pustaka LP3ES itu, pernah menjadi syarat bagi calon siswa yang ingin mengikuti program Sakti.
Menurut Wakil Koordinator ICW Ade Irawan, banyaknya mahasiswa yang ingin bergabung dengan Sakti, membuat ICW harus melakukan proses seleksi. Padahal, yang diambil hanya 20-25 orang saja. Proses seleksi itu di antaranya, meminta calon peserta untuk melakukan review beberapa buku. Selain Pendidikan Kaum Terindas, buku lain yang juga pernah dijadikan objek review adalah Sosiologi Korupsi karya Syed Husen Alatas.
“Pengumuman dengan menggunakan berbagai media. Seleksi bertujuan untuk memastikan keseriusan minat calon peserta. Sasaran utama adalah perguruan tinggi, walau ada juga yang berasal dari jaringan ICW dan masyarakat umum,” kata Ade.
Perekrutan yang dilakukan ICW tentu tak sama persis dengan sekolah antikorupsi yang digagas pihak lain. Sebut saja Sekolah Antikorupsi Aceh (SAKA) oleh Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Madrasah Antikorupsi (MAK) oleh PP Pemuda Muhammadiyah, Sekolah Integritas Padang oleh Perkumpulan Integritas, Sakti Tangerang, dan sebagainya. SAKA misalnya, bahkan tidak melakukan seleksi kepada calon peserta. Perekrutan dilakukan terbuka, siapa saja boleh mendaftar. Tidak hanya mahasiswa, namun banyak juga dari kalangan ibu rumah tangga.
Menurut Dewan Pembina SAKA, Askhalani, proses seleksi justru dilakukan selama proses pembelajaran. Semua peserta yang berminat dan mendaftar bisa langsung mengikuti kurikulum. Dalam hal ini, siapa yang terus bisa mengikuti seluruh tahapan belajar itulah yang berhak diwisuda.
“Kami menyebutnya sebagai seleksi alam. Kader yang lahir dari seleksi alam akan mandiri dalam membangun gerakan sosial antikorupsi yang militan dan terbebas dari kepentingan pihak tertentu,” kata Askhalani, yang juga Koordinator GeRAK Aceh.
Kurikulum Pembelajaran
Hampir semua sekolah antikorupsi melakukan proses belajar mengajar secara nonformal. Tidak ada tempat khusus untuk belajar. Bahkan, suasana yang terbentuk pun bisa sangat santai sembari menikmati camilan dan minuman hangat.
Begitupun, sama seperti lembaga pendidikan pada umumnya, sekolah antikorupsi juga memiliki kurikulum. Hanya saja, karena belum ada ketentuan baku, maka kurikulum yang diberlakukan pun bisa berbeda satu sama lain. Terutama, untuk sekolah antikorupsi yang berbeda jaringan. Sedangkan yang memiliki jaringan sama, biasanya memiliki kemiripan kurikulum, meski terdapat beberapa penyesuaian.
Contoh jaringan dimaksud, misalnya Sakti ICW dengan Sakti Tangerang yang dibentuk Truth dan juga Madarasah Antikorupsi (MAK) bentukan Pemuda Muhammadiyah. Dalam hal ini, menurut Wakil Koordinator ICW Ade Irawan, kurikulum yang digunakan Madrasah Antikorupsi sama seperti Sakti.
“Hanya ada tambahan terkait teologi. Madrasah Antikorupsi sekarang bahkan berkembang besat di banyak kampus Muhammadiyah,” jelasnya.
Ade menjelaskan, terdapat empat tahapan dalam proses pembelajaran Sakti. Pertama, teori/perspektif. Pada tahap ini, peserta diajak diskusi mengenai perspektif terkait korupsi, sejarah korupsi, korupsi politik, sistem hukum, dan sebagainya. Kedua, terkait metodologi seperti gerakan sosial dan analisis sosial. Ketiga, teknik dan metode, seperti investigasi dan tracking. Dan keempat, kunjungan ke lapangan dan proyek antikorupsi. Sementara, metode yang digunakan adalah kombinasi antara ceramah di kelas, kerja kelompok, praktik lapangan, dan bermain peran.
“Sakti ditujukan untuk menghasilkan kader-kader yang tidak hanya mau tapi juga mampu melawan korupsi. Itu sebabnya, dalam kurikulum kami tidak hanya fokus pada teori atau perspektif, tetapi juga metodologi dan teknik untuk melawan korupsi, seperti cara analisis dan tracking anggaran, investitigasi, dan advokasi,” jelas Ade.
Begitupun Ade menambahkan, metode pembelajaran bisa saja mengalami perkembangan. Mengingat Sakti memiliki jaringan dengan sekolah antikorupsi lain, maka ke depan, ICW tengah dibuat metode pembelajaran e-learning. Dengan demikian, selain bermanfaat bagi jaringan, juga memudahkan peserta untuk belajar. Sebelum melakukan tatap muka, misalnya, peserta Sakti bisa mulai mempelajari secara online.
Sekolah Integritas Padang sedikit berbeda. Menurut sang koordinator, Arief Paderi, pembelajaran pada Sekolah Integritas terdiri atas dua sesi, yaitu Sesi Kelas dan Sesi Lapangan. Sesi Kelas dilaksanakan lima hari, sedangkan Sesi Lapangan selama tiga bulan.
Untuk Sesi Kelas, metode belajar yang dilakukan adalah menggunakan metode diskusi partisipatif. Adapun materi ajarnya antara lain Mengenal, Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Korupsi, Gerakan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Peran Serta Masyarakat Memantau Pelayanan Publik, Peran Masyarakat dalam Memantau Peradilan, Analisis Anggaran dan Tata Kelola Keuangan Daerah, dan sebagainya.
Sementara pada Sesi Lapangan, peserta mengikuti berbagai kegiatan semisal, ikut serta dalam melakukan investigasi, penelitian, membuat kajian, kampanye, dan lain-lain. Selama 90 hari itu, lanjut Arief, juga diselenggarakan diskusi berkelanjutan, yang menghadirkan beberapa orang pemateri.
Harapan Sama
Satu tujuan, satu harapan. Meski memiliki beberapa perbedaan, termasuk metode pembelajaran, tujuan pembentukan sekolah antikorupsi tetaplah sama. Sebagai inisiatif masyarakat, melalui sekolah semacam itu, masyarakat ingin berkontribusi dalam pemberantasan korupsi. Harapannya, agar ‘virus’ antikorupsi tadi, bisa juga ditularkan kepada berbagai elemen lain, sehingga mempercepat pemberantasan korupsi itu sendiri.
Seperti disampaikan Wakil Direktur Madrasah Antikorupsi (MAK), Virgo Sulianto Gohardi, MAK merupakan perwujudan Gerakan Berjamaah Lawan Korupsi yang digagas Pemuda Muhammadiyah. Dalam gerakan tersebut, Pemuda Muhammadiyah mengajak seluruh anak bangsa khususnya kader kader muda Muhammadiyah, secara bersama-sama berkomitmen memerangi korupsi.
“Slogannya adalah ibda’ binafsi, yang artinya dimulai dari diri sendiri,” kata Virgo.
Untuk itulah, Pemuda Muhammadiyah akhirnya mendirikan Madrasah Anti Korupsi (MAK) sebagai pusat edukasi nilai-nilai antikorupsi dan keterampilan advokasi dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, tidak banyak ormas Islam atau organisasi kepemudaan yang secara khusus menjadikan gerakan antikorupsi sebagai program unggulan yang sistematis. “Di sinilah Pemuda Muhammadiyah memulai,” kata dia.
Pendidikan antikorupsi itu sendiri, menurut Virgo sangat penting. Sebab, gerakan antikorupsi merupakan gerakan membangun budaya baru. Dan membangun gerakan baru, tentu tidak hanya sendiri-sendiri namun harus berjamaah. “Pendidikan antikorupsi adalah upaya membangun gerakan budaya baru antikorupsi secara berjamaah,” urai Virgo.
Karena kesamaan tujuan itulah, Virgo mengapresiasi sekolah antikorupsi atau program sejenis yang dilakukan lembaga lain. Sebab, lanjutnya, upaya tersebut adalah ikhtiar bersama dalam melahirkan generasi yang memiliki komitmen antikorupsi. (*)
Selengkapnya, bisa dibaca di Majalah Integrito Maret/April 2017
(Humas)
Sumber : www.kpk.go.id