Lima Perusahaan Tambang di Aceh Belum Miliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

BANDA ACEH – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mensinyalir beberapa perusahaan pertambangan yang berada di kawasan hutan Aceh diduga belum seluruhnya memiliki dokumen Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Catatan GeRAK Aceh, ada lima perusahaan pertambangan yang berada di kawasan hutan tidak memiliki dokumen IPPKH.

Kepala Divisi Advokasi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan berdasarkan kajian yang dilakukan GeRAK Aceh, hanya dua perusahaan di kawasan hutan yang memiliki dokumen IPPKH, sedangkan lima perusahaan lainnya diduga belum memiliki dokumen izin pinjam pakai tersebut.

“Dari tujuh perusahaan tambang yang izinnya berada di kawasan hutan, hanya dua perusahaan memiliki IPPKH dan lima perusahaan kita duga tidak memiliki dokumen IPPKH,” kata Hayatuddin Tanjung, Selasa (26/6/2018).

Kadiv Advokasi GeRAK Aceh Hayatuddin Tanjung

Hayatuddin menjelaskan perusahaan yang memiliki IPPKH tersebut yaitu PT Tambang Indrapuri Jaya dan PT Estamo Mandiri.

Sedangkan lima perusahaan tambang yang diduga belum memiliki dokumen IPPKH itu antara lain PT Takengon Mineral Resort seluas 19.500 Hektare (Ha) di hutan lindung dan 2.600 Ha di hutan produksi, PT Bara Adi Pratama, di Aceh Barat dengan 80 Ha berada di hutan lindung.

Kemudian PT Bumi Babahrot di Abdya, seluas 5,5 Ha berada dalam hutan lindung, KSU Nikmat Sepakat di Aceh Selatan 2,53 Ha di hutan lidung dan PT Organik Semesta Subur di Subulussalam seluas 53,92 Ha di hutan lindung, lalu 5.068,48 Ha di hutan produksi.

“Jika benar perusahaan tambang itu tidak memiliki IPPKH, maka sudah melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 134 Ayat 2 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, di mana kegiatan pertambangan tidak bisa dilaksanakan di tempat yang dilarang untuk melakukan usaha pertambangan sebelum memperoleh izin dari intansi pemerintahan,” ungkap Hayatudin.

“Kemudian dikuatkan lagi dengan pasal 50 Ayat 3 huruf (g) Jo Pasal 38 ayat 3 UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dimana setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa melalui pemberian IPPKH oleh menteri kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu,” tambahnya.

Hayatuddin menuturkan, perusahaan yang tidak memiliki IPPKH dapat diberikan saksi administrasi yaitu berupa pencabutan izin oleh Menteri atau Gubernur sesuai dengan UU minerba pada Pasal 119.  Perusahaan tersebut menurutnya juga dapat diberikan sanksi pidana sebagaimana yang disampaikan dalam Pasal 78 Ayat 6 UU Kehutanan, yaitu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak memiliki IPPKH dapat dihukum dengan hukuman kurungan maksimal 10 tahun atau denda sebesar Rp 5 miliar.

“Seharusnya perusahaan pertambangan tidak memiliki IPPKH tidak boleh beroperasi,” ujar Hayatuddin.

Dengan adanya persoalan tersebut, Hayatuddin menambahkan, kondisi ini dapat menjadi salah satu pertimbangan Gubernur Aceh untuk memperpanjang Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 05/INSTR/2017 tentang moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara yang telah berakhir pada 15 Juni 2018.

“Ingub moratorium pertambangan tersebut penting dilanjutkan oleh gubernur agar bisa mengevaluasi seluruh IUP yang ada demi perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Aceh,” tutup Hayatuddin. []