BANDA ACEH – Pembebasan lahan pembangunan Politeknik Perikanan Ladong, Aceh Besar, diduga bermasalah. Pasalnya tanah yang akan dibebaskan tersebut dalam tahap sengketa ahli waris. Lahan yang akan dibebaskan beralamat di Jalan Laksamana Malahayati, KM. 26 Aceh Besar.
Proyek pembangunan itu bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sementara untuk pembebasan lahan bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) dengan total anggaran Rp 4 miliar. Pembebasan lahan sendiri berada di bawah Dinas Kelauran dan Perikanan Aceh.
Informasi dari berbagai sumber AJNN, tanah yang akan dibebaskan seluas 10 hektare. Untuk tahap awal, DKP sudah membayar Rp 1 miliar. Ternyata tanah tersebut bersengkatan dan masih dalam tahap proses persidangan di Pengadilan Negeri Jantho.
Bahkan ada tiga ahli waris yang bersengketa di tanah itu. Sementara uang sisa Rp 3 miliar, yang disiapkan untuk pembebasan lahan terpaksa dititipkan di pengadilan.
Hingga berita ini diunggah, AJNN beberapa kali mencoba menghubungi Kepala DKP Diauddin, namun tidak ada jawaban. Pesan singkat yang dikirimkan juga tidak mendapat jawaban.
Tak hanya disitu, AJNN juga sudah berusaha mendatangi Kantor DKP Aceh yang beralamat di Jln. Tgk. Malem No. 7, Kuta Alam – Banda Aceh, namun Diauddin selalu tidak berada di tempat.
Sementara, Sekretaris Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Besar Nasruddin MD mengaku mengetahui adanya proyek pembangunan Politeknik Perikanan Ladong, Aceh Besar. Namun ia tak mengetahui kalau tanah yang akan dibebaskan oleh Pemerintah Aceh bersengketa.
“Saya baru tahun 2016 duduk di DPRK, jadi kalau proyek itu saya tahu, tapi masalah pembebasan lahan yang bersengketa saya baru tahu sekarang,” kata Nasruddin MD kepada AJNN, Selasa (18/7).
Seharusnya, kata Nasaruddin, Pemerintah Aceh sebelum melakukan pembebasan lahan harus memastikan apakah tanah yang akan dibebaskan itu bermasalah atau tidak. Sehingga proyek yang akan dikerjakan untuk kepentingan publik tidak terkendala dengan kasus seperti ini.
“Kalau sudah seperti ini, akhirnya proyek yang sudah dikerjakan sudah terkendala. Apalagi infonya sudah sudah dibayar Rp 1 miliar, artinya harus menunggu proses sengketa di pengadilan baru bisa dibayarkan sisanya,” ujarnya.
Menurut mantan Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Besar, kejadian seperti ini mungkin baru pertama sekali terjadi di Aceh. Biasanya pembebasan lahan terkendala pada harga tanah yang tidak sesuai dengan yang pemerintah putuskan. Artinya kejadian seperti itu, pemerintah bisa memakai paksa tanah tersebut dengan menitipkan uang di pengadilan.
“Sekarang masalahnya tanah bersengketa, mungkin harga sudah sesuai. Pemerintah tidak boleh langsung ambil paksa tanah karena masih bersengketa, itu bisa dikatakan pemaksaan,” ujar Nasaruddin.
Ia menduga ada yang salah dalam pembebasan lahan untuk proyek itu. Seharusnya pemerintah lebih teliti dalam membeli, sehingga kejadian seperti ini mungkin tidak akan terjadi, sehingga proyek yang akan dikerjakan tidak terhenti.
“Kenapa dipaksakan dibeli kalau bersengketa, tidak mungkin pemerintah tidak tahu tanah bersengketa atau tidak. Saya juga akan mempertanyakan kepada Kajari Jantho sejauh mana proses persidangan kasus sengketa tanah itu,” kata politisi PDA itu.
Sumber : AJNN