Banda Aceh – Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Khusus (Satgassus P3TPK) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mencatat bahwa kasus yang ditangani selama ini didominasi perkara fisik.
“Paling dominan itu adalah kasus fisik, seperti pembangunan jalan dan jembatan,” kata Koordinator Satgassus P3TPK Kejati Aceh Sahdasyah Putera Jaya.
Hal itu disampaikan Sahdasyah Putera Jaya saat memberikan materi dalam kegiatan diskusi pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan Transparan Internasional (TI) Indonesia, bersama GeRAK Aceh dan SAKA, di Banda Aceh, Jumat (04/06/2021).
Sahdasyah menyebutkan, selama 2020 pihaknya menangani sebanyak 148, diantaranya penyelidikan 38 kasus, penyidikan 31, penuntutan 56 dan 23 kasus telah dieksekusi.
Sedangkan hingga Mei 2021 ini, kata Sahdasyah, dalam proses penyelidikan terdapat 16 kasus, kemudian yang sedang ditangani penyidik sebanyak 18 perkara.
“Sementara yang sedang dilakukan penuntutan 2021 ini ada 11 kasus, lima kasus sudah dieksekusi,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Sahdasyah, Kejati Aceh masih terus menangani kasus yang dilaporkan pada 2021 ini, serta perkara yang diproses sejak 2020 lalu.
“Sekarang yang ditangani dan kasus replanting, pembangunan jalan Muara Situlen dan berbagai kasus lainnya,” kata Sahdasyah.
Sementara itu, Koordinator Gerak Aceh Askhalani menyebutkan, sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) merupakan salah satu kegiatan yang menyumbang terjadinya tindak pidana korupsi di Aceh.
“Hasil kajian GeRAK Aceh atas LHP audit BPK RI sejak 2018-2020, banyak menemukan fakta bahwa penyumbang korupsi terbesar berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa, hibah bansos dan alokasi dana desa,” kata Askhalani.
Askhalani menyampaikan, akar permasalahan terjadinya korupsi di sektor PBJ tersebut yakni karena adanya benturan perundang-undangan, multytafsir, tumpeng tindih, tidak kuat dan kurang aplikatif.
Selanjutnya, perencanaan dan penganggaran dilakukan oleh orang serta instansi yang tidak berintegritas sehingga prosesnya kurang transparan. Adanya intervensi eksternal dalam PBJ individu.
“Kemudian, ada keterbatasan informasi harga pasar, kolusi antara penyedia dan penyedia, intervensi pada saat pemilihan penyediaan serta pengawasan yang tidak reaktif dan kurang aktif,” ucapnya.
Askhalani melihat, modus korupsi pada pengadaan barang dan jasa ini adalah, paket proyek dijual terlebih dahulu kepada vendor sebelum anggaran disetujui atau disahkan.
Pegadaannya tidak sesuai dengan kebutuhan (rekayasa dokumen), persekongkolan antara DPR, pihak SKPA (KPA) dan vendor. Lalu, HPS dan spek dibuat oleh vendor dengan mark up harga, adanya praktik suap kepada pihak-pihak terkait.
Juga dilakukan manipulasi pemilihan pemenangan pengumuman terbatas, manipulasi dokumen tender
HPS dan spek teknis dibuat oleh vendor.
“Juga ada dugaan persekongkolan KPA, PPK, Pokja ULP/Pimpro, PPHP, Bendahara memanipulasi dokumen serah terima, dan upaya suap kepada auditor (BPK atau BPKP) guna menghilangkan temuan audit
suap kepada APH untuk meringankan hukum.
Melihat persoalan tersebut, Askhalani meminta Kejati Aceh, terutama tim Satgassus P3TPK untuk dapat memperketat pengawasan saat proses pengadaan barang dan jasa pemerintah berjalan guna mencegah terjadinya kerugian negera.
“Kita berharap dan meminta kepada Kejati Aceh untuk mengawasi pengadaan barang dan jasa yang dilakukan Pemerintah Aceh guna menyelamatkan uang rakyat Aceh,” pungkas Askhalani. (R)
Sumber : https://suaraaceh.net/2021/06/04/kejati-aceh-dominan-tangani-kasus-fisik-gerak-sektor-pbj-penyumbang-korupsi-terbesar/