BANDA ACEH – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mengapresiasi tindakan projustisia Kejaksaan Tinggi Aceh terhadap empat petinggi dan 74 staf Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Mereka diperiksa oleh penyidik Kejati Aceh dalam rangka mengumpulkan data dan bahan keterangan (pulbaket) atas pencairan tunjangan insentif kinerja (Tukin) tahunan.
Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani mengungkapkan berdasarkan telaah yang dilakukan GeRAK Aceh, dasar penetapan remunerasi pimpinan dan pekerja BPMA tersebut didasari oleh surat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada tanggal 31 Desember 2017, tentang Persetujuan Prinsip Penetapan Remunerasi bagi pimpinan dan pekerja BPMA serta honorarium Komisi Pengawas BPMA.
Persetujuan prinsip ini merupakan persetujuan atas usulan Menteri ESDM tanggal 26 Mei 2017 tentang Usulan Rencana Kerja dan Anggaran serta Remunerasi BPMA.
Dalam surat Menkeu disebutkan bahwa Menkeu menyetujui pemberian renumerasi bagi pimpinan dan pekerja BPMA dengan komponen dan besaran setinggi-tingginya sebagaiamana lampiran surat tersebut dengan besaran remunerasi bersifat netto. BPMA juga tak diperkenankan menambah komponen maupun besaran renumerasi dan honorarium sebagaimana tercantum dalam lampiran surat itu.
Melalui surat yang sama, Menkeu juga meminta agar dibuat standardisasi Key Performance Indicator yang transparan dan akuntabel. Selanjutnya dijelaskan bahwa persetujuan prinsip tersebut agar ditindaklanjuti dengan penetapan dalam dalam suatu peraturan perundang-undangan oleh pejabat oleh pejabat yang berwenang dan terhitung mulai berlaku sejak pimpinan, pekerja, dan komisi pengawas BPMA dilantik/diangkat dan melaksanakan tugas. Terakhir Menkeu menekankan agar seluruh proses dilakukan secara profesional, bersih dari korupsi, dan tidak ada konflik kepentingan, dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan berpodoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca: Petinggi BPMA Diperiksa Penyidik Kejati Aceh Terkait Tunjangan Kinerja
Berdasarkan surat itu, kata Askhalani, remunerasi pimpinan dan pekerja BPMA harus memenuhi syarat yaitu BPMA terlebih dahulu menetapkan standardisasi Key Performance Indicator dengan prinsip transparan dan akuntabel. Kemudian persetujuan prinsip tersebut harus ditindaklanjuti dengan penetapan dalam peraturan perundang-undangan oleh pejabat berwenang. Yang mana prosesnya dilakukan dengan prinsip kehati-hatian yang berpodoman pada peraturan perindang-undangan yang berlaku.
“Surat Menkeu sangat jelas dan tegas yaitu terlebih dahulu menetapkan standardisasi Key Perdormance Indicator, setelah itu ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan oleh pejabat berwenang, kemudian ditegaskan lagi harus ditetapkan dengan prinsip kehati-hatian dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ungkap Askhalani.
Lebih lanjut, Askhalani mempertanyakan apakah standardisasi Key Perdormance Indicator sudah dibuat dan ditetapkan? Apakah persetujuan prinsip ini telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan? Jika belum maka pembayaran Tukin termasuk renumerasi BPMA tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Menurut Askhalani, sejauh ini pembayaran hak keuangan pimpinan dan pekerja BPMA baru didasari atas Keputusan Kepala BPMA nomor Kep-0002/BPMA0000/2018/BO tentang Fasilitas dan Hak Keuangan Pimpinan dan Pekerja BPMA yang diterbitkan tanggal 1 Maret 2018.
Askhalani menyebutkan bahwa keputusan Kepala BPMA ini sangat lemah, dimana dalam konsederan yang menjadi dasar keputusan ini adalah Surat Menkeu tanggal 21 Desember 2017, tentang persetujuan prinsip penetapan renumerasi bagi pimpinan dan pekerja BPMA. Kemudian Surat Gubernur Aceh tanggal 9 September 2015 perihal persetujuan Struktur Organisasi BPMA, Serta surat Gubernur Aceh tanggal 5 Maret 2018 perihal Usulan Persetujuan Hak Keuangan dan Fasilitas Pimpinan dan pekerja BPMA.
Baca: GeRAK Nilai Penempatan Staf BPMA tanpa Nomenklatur Berpotensi Rugikan Negara
Dengan mencermati konsederan memperhatikan dalam keputusan Kepala BPMA, sesungguhnya memberikan gambaran bahwa peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam surat persetujuan prinsip yang mengatur nomenklatur atau hak keuangan serta fasilitas pimpinan dan pekerja BPMA belum ada.
“Informasi yang kami dapat sejauh ini usulan Gubernur Aceh perihal persetujuan renumerasi BPMA yang juga lazim disebut norma, syarat dan ketentuan atau NSK masih di meja menteri, jadi belum final,” ungkap Askhalani.
Ia berpendapat bahwa renumerasi BPMA saja belum memiliki dasar hukum kuat, apalagi tukin. Dalam lampiran persetujuan prinsip Menkeu disebutkan bahwa tukin tahunan dapat diberikan kepada pimpinan dan pekerja apabila kinerja BPMA melampaui Key Performance Indicator yang ditetapkan.
“Tukin ini kan salah satu komponen renumerasi, padahal remunerasi saja belum punya dasar hukum yang kuat, apalagi Tukin,” tegas Askalani.
Askhalani malah mempertanyakan tentang kinerja BPMA selama ini. Menurutnya, BPMA belum memperlihatkan prestasi yang membanggakan, sehingga ia menilai belum pantas pimpinan dan pekerja BPMA mendapatkan tukin.
“Emangnya apa indikator kinerja yang telah dilampaui, jangankan dilampaui, dicapai saja belum. Lalu siapa yang telah melakukan evaluasi dan penilaian atas capaian indikator kinerja BPMA?,” tanya Askhalani.
Baca: Beda Nasib Antara BPKS dan BPMA
Askhalani menambahkan bahwa informasi yang diperoleh, tukin untuk pegawai BPMA telah direalisasikan sebanyak dua kali, yaitu tukin tahun 2019, dimana ada yang memperoleh sebesar 3 kali upah dasar dan tunjangan profesional, serta lainnya hanya mendapatkan 1 x upah dasar dan tunjangan profesional. Yang kedua yaitu pada Mei 2020 sebesar 1 x upah dasar dan tunjangan profesional kepada semua pegawai. Padahal, seharusnya tukin hanya diberikan setiap tahun sekali, itupun terlebih dahulu harus dilakukan penilaian atas capaian kinerja.
“Saya dapat informasi kalau tukin ini sudah direalisasikan bagi pegawai BPMA sebanyak dua kali, pertama tukin tahun 2019, kemudian Mei 2020, padahal tukin ini hanya oleh sekali dalam setahun setelah dilakukan penilaian kinerja,” pungkas Askalani.
Sebelumnya, Kasipenkum Kejati Aceh Munawal Hadi menyebutkan bahwa Kejaksaan Tinggi Aceh telah memanggil satu orang Deputi, tiga kepala Divisi bersama 74 staf BPMA. Munawal menyampaikan bahwa itu masih tahap penyelidikan dalam rangka mengumpulkan bahan dan keterangan guna mengetahui Tukin ini sudah sesuai aturan atau tidak.
“Masih tahap penyelidikan, apakah tunjangan kinerja yang mereka gunakan sesuai aturan apa tidak,” ujar Munawal.
Untuk mengungkapkan apakah adanya unsur tindak pidana penyalahgunaan anggaran tersebut, menurut Munawal Hadi diperlukan bukti dan waktu. Penyidik akan bekerja secara profesional.
Hingga berita ini diunggah, Kepala BPMA, Teuku Muhammad Faisal dan Wakil Kepala BPMA, Muhammad Najib yang dikonfirmasi AJNN via pesan WhatsApp ihkwal renumerasi dan pemberian tukin tersebut belum memberi keterangan apapun.
Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/gerak-pertanyakan-dasar-pembayaran-tukin-bpma/index.html.