BANDA ACEH – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menjelaskan tentang suksesnya pelaksanaan moratorium pertambangan di Aceh dalam kurun waktu empat tahun, sejak 2014 hingga 2018.
Riwayat pelaksanaan moratorium tambang di Aceh ini disampaikan oleh Kepala Divisi Pendidikan GeRAK Aceh, Mahmuddin kepada para perwakilan Civil Society Organization (CSO) dari berbagai provinsi di Indonesia, pada kegiatan workshop penyusunan dokumen dan strategi mendorong kebijakan moratorium tambang batubara nasional dan Kalimantan Utara, yang dilaksanakan oleh Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAMNAS) dan JATAM Kalimantan Utara, di Kota Tarakan, Sabtu (18/5).
“Kita menjelaskan story moratorium tambang di Aceh untuk bisa di implementasi di Provinsi lain di Indonesia dan secara nasional,” kata Mahmuddin dalam presentasinya.
Disana, Mahmuddin memaparkan bahwa momentum pelaksanaan moratorium tambang di Aceh itu dimulai sejak tahun 2014 dengan dikeluarkannya Intruksi Gubernur (Ingub) Aceh Nomor 11/INSTR/2014 tentang moratorium izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara. Serta dibentuknya tim pemantau berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 540/777/2015.
Setelah Ingub ini berlaku selama dua tahun hingga 2016, sebanyak 92 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari total 138 berkurang atau tinggal 46 IUP tersisa, dengan hasil itu, lahan Aceh terselamatkan seluas 639.646 hektare (Ha).
Kemudian, setelah Ingub itu berakhir pada 2016, Gubernur Aceh Zaini Abdullah saat itu kembali melakukan perpanjangan selama satu tahun hingga 2017, dengan Ingub bernomor 09/INSTR/2016 tentang perpanjangan moratorium izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara.
Satu tahun berjalan, sebanyak 9 IUP kembali berkurang dari jumlah 46, dan tersisa 37 IUP, lahan terselamatkan bertambah seluas 46.000 Ha.
Kemudian, Ingub 2016 kembali berakhir pada 2017, dan saat itu Gubernur Aceh tidak lagi dijabat oleh Zaini Abdullah, melainkan berganti dengan Irwandi Yusuf.
Setelah itu, Irwandi Yusuf ternyata melanjutkan Ingub tersebut dengan nomor 05/INSTR/2017, berlaku selama enam bulan hingga Juni 2018.
Selama enam bulan itu, 7 IUP berkurang lagi dari total 37 IUP, dan kini tersisa sebanyak 30 IUP. Lahan di Aceh yang terselamatkan kembali bertambah seluas 61.433 Ha.
“Selama periode moratorium tambang sejak 2014 sampai dengan 2018, sebanyak 108 IUP telah berakhir, dengan total lahan terselamatkan seluas 747.079 Ha,” papar Mahmuddin.
Namun sayangnya, lanjut Mahmuddin, meski Ingub tersebut sudah berdampak baik terhadap keselamatan dan tata kelola pertambangan di Aceh, hingga saat ini Pemerintah Aceh belum juga mengambil sikap untuk memperpanjang moratorium tersebut.
Dalam kesempatan itu, Mahmuddin juga menyampaikan bahwa di Aceh saat ini juga memiliki tantangan mengenai pertambangan, dimana komitmen kepala daerah tidak dilaksanakan dengan bijak oleh Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) dalam melaksanakan Intstruksi Gubernur.
Lalu, dilema kepala daerah memperbaiki iklim investasi di, maraknya peralihan atau transisi IUP Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA.
“Dan memahnya penegakan hukum sektor tambang, karena regulasi yang masih mengedepankan sanksi adminstrasi dari pada pidana,” tuturnya.
Disisi lain, lanjut Mahmuddin, Aceh juga memiliki peluang dalam perbaikan tata kelola, hal itu terlihat dari desaka masyarakat sipil dan mahasiswa dalam menentang pertambangan yang menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh.
Disini, perbaikan perizinan dengan kebijakan moratorium tambang justru memberikan kepastian hukum, karena kebijakan itu sebagai salah bentuk keseriusan Pemerintah Aceh dalam perbaikan hutan dan lahan.
“Keseriusan Pemda ikut serta dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan, dan pemanfaatan hutan, lahan bekas tambang untuk kegiatan yang dapat memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat, seperti hutan adat, HKM, PS,TORA dan lainnya,” tutup Mahmuddin.
Sumber : AJNN