Oleh: Askhalani, SHi
Patut dicatat dalam sejarah pemerintahan yakni keberhasilan Pemerintah Aceh dalam mendorong lahirnya langkah nyata dan terukur yaitu kebijakan Moratorium Tambang pada tahun 2014. Tujuan dasar kebijakan ini untuk memperbaiki tata kelola sektor tambang, menyelamatkan hutan dan lingkungan bagi generasi Aceh, sekaligus menjadi pembelajaran bahwa ada kisah tentang keberanian pemerintah di level lokal di Indonesia.
Sikap yang diwujudkan dalam sebuah kebijakan untuk tujuan jangka panjang yaitu intervensi Pemerintah secara langsung dalam mendorong penyelamatan hutan bagi masa depan. Akibat kebijakan non populis ini sebagain besar para perusahaan tambang yang sebelumnya mengantogi izin usaha pertambangan (IUP) kesulitan melakukan manufer politik untuk mencari jalan dan celah lewat Undang-undang agar izin pertambangan yang sudah diperoleh tetap bisa melakukan aktivitas di Aceh termasuk melakukan perubahan izin sepihak secara tertutup dari IUP Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA).
Puncak keberhasilan kebijakan Moratorium tambang yang dikukuhkan pada era pemerintahan Gubernur Aceh Doto Zaini-Muzakkir Manaf mampu memberikan nilai positif bagi Provinsi Aceh, buntutnya adalah keberhasilan dalam menekan laju IUP yang sebelumnya begitu mudah dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Tercatat sejak tahun 2006 – 2012 jumlah IUP di Provinsi Aceh adalah 134 izin dengan komposisi IUP yang tersebar di 15 Kabupaten/Kota, dengan luas total wilayah konsesi usaha pertambangan mencapai 672.540,27 Ha. Jumlah ini semakin meningkat tajam pada tahun 2014 yaitu menjadi 138 IUP yang meliputi 16 Kabupaten/ Kota dengan total luas kawasan hutan yang terpakai naik menjadi 841.648,31 Ha.
Dari sekian total luasan wilayah hutan tersebut diatas terindikasi ada 4 (empat) perusahaan yang IUPnya berada dalam kawasan hutan konservasi seluas 31.316,12 Ha dan 65 Perusahaan IUPnya berada dalam kawasan hutan lindung seluas 399.959,76 Ha.
Hasil kajian GeRAK Aceh atas efektivitas pelaksanaan Instruksi Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Aceh selama kurun waktu 2014-2018 telah memberikan dampak positif dalam mendorong upaya perbaikan, sekaligus menjadi salah satu champions ditingkat nasional dan menjadi contoh sukses kebijakan dalam menerapkan tata kelola pertambangan yang baik.
Di sisi lain Aceh juga menjadi salah satu Provinsi yang berhasil mengurangi jumlah IUP secara signifikan yang tersebar baik di hutan konservasi maupun hutan lindung, jumlah IUP berkurang cukup tinggi dari sebelumnya pada tahun 2014 dengan total 138 IUP yang hingga saat ini tahun 2019 tinggal 30 IUP dengan total kawasan hutan yang terpakai sebanyak 94.569,10 ha. Dari 99 IUP yang sudah dicabut, setidaknya total luas kawasan hutan yang terselamatkan, baik katena dicabut ataupun katena berakhirnya masa perizinan yaitu seluas 647.762,21 ha
Keberhasilan pemerintah Aceh dalam mengurangi dan menekan jumlah Izin Usaha Pertambangan dan upaya serius dalam melakukan penyelamatan kawasan hutan tersebut dikukuhkan dengan lahirnya surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 540/1436/2018 tentang Pengakiran Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Logam dan Batu Bara Secara Kolektif di Aceh yang ditandatangani oleh Plt Gubernur Aceh atan nama Nova Iriansyah tertanggal 27 Desember 2018.
Keputusan Gubenrur ini sendiri merupakan instrumen kebijakan terpenting dalam mendorong supaya seluruh IUP yang sudah berakhir tidak dapat digunakan oleh mafia pertambangan.
Namun keberhasilan tersebut diatas juga menyisahkan persoalan dalam sektor pertambangan di Provinsi Aceh, dimana ada 2 perusahaan yang secara sembunyi-sembunyi melakukan peningkatan status atas izin usaha pertambangan dengan melakukan perubahan izin dari IUP Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA) yaitu PT Emas Mineral Murni (EMM) di Nagan Raya tahun 2017 dan PT Linge Mineral Resource (LMR) di Aceh Tengah tahun 2018.
Perlu digarus bawahi bahwa proses pengurusan izin teraebut kesemuanya dilakukan ditingkat nasional melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Anehnnya lagi, ke dua perusahaan ini dalam meningkatkan status perizinannya sama sekali tidak mendapatkan rekomendasi apapun dari Pemerintah Aceh sebagai prasyarat sebagaimana diatur dalam UNdang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 tahun 15 tentang kewenangan pemerintah bersifat nasional di Aceh.
Ambiguisme kebijakan Sebagai Pemicu Konflik
Ambigu dalam kamus besar bahasa indonesia ambigu/am·bi·gu/ a bermakna lebih dari satu (sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dan sebagainya); bermakna ganda; taksa, dan jika merujuk pada substansi kamus Bahasa tersebut maka sangat tepat kondisi beberapa persoalan kekiniaan dikhususnya menyangkut persoalan Pertambangan di Aceh, maka konotasi kata ambigu tepat untuk disandingkan, bagaimana tidak disatu sisi Provinsi Aceh memiliki UU khusus yang menjadi landasan pokok dalam menjalankan mandat pelaksanaan pemerintah yaitu UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Akan tetapi faktanya dalam banyak persoalan yang muncul ditengarai sumbernya berasal pada dualisme regulasi yang saling bertentangan, bahkan cenderung mengabaikan konteks lokal yang sebelumnya sudah dijadikan rumusan dalam UUPA, dalam pelaksanaannya rumusan ini tidak dijadikan landasan sebagai pijakan oleh kementerian di tingkat nasional. Kementrian lebih memilih menggunakan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah sebagai rujukan atas proses kebijakan baik untuk pertambangan maupun kehutanan.
Sebagai contoh, dalam UUPA dikemukakan bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintah dalam semua sektor publik kecuali urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan Pemerintah, yang meliputi urusan Pemerintah yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Terkait kewenangan pengelolaan sumber daya alam dalam UU No 11 tahun 2006 substansinya diatur secara khusus sebagaimana dalam Bab XXII bagian ketiga pasal 156 dinyatakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota, mengelola sumberdaya alam di Aceh baik didarat maupun dilaut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya.
Sumber daya alam tersebut dirinci lebih lanjut pada ayat 3, meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan. Dimana ruang lingkupnya meliputi pengelolaan, perencanaan, pelaksaan, pemamfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksporasi, operasi produksi, dan budidaya.
Lalu dalam PP Nomor 3 tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah Yang Bersifat Nasional di Aceh sebagaimana dalam pasal 4 huruf cc yang dijelaskan kembali dalam pasal 13 Bab IV ketentuan lain-lain dalam ayat 1 dan 2, bahwa poin utama tentang kewenangan Pemerintah di Aceh yang belum diatur dalam PP ini dan mempunyai eksternalitas nasional tetap menjadi kewenangan Pemerintah, akan tetapi dalam ayat ke 2 disebutkan secara substansi bahwa kewenangan Pemerintah di Aceh yang belum diatur sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan Gubernur.
Merujuk pada argumentasi hukum di atas, maka posisi dan kewenangan pemerintah Aceh secara UU sangat kuat, akan tetapi dalam proses pengurusan perizinan pertambangan, baik izin usaha pertambangan PT EMM maupun PT LMR pertimbangan dari Pemerintah Aceh sama melalui konsultasi sama sekali tidak dilakukan.
Proses ini tidak saja cacat formil dan melanggar prosedur, tapi juga melanggar etika penemrintahan, dimana BKPM seharusnya terlebih dahulu mendaoatkan pertimbangan hukum secara tertulis dari pemerintah Aceh atas izin-izin yang dikeluarkan.
Karenanya proses yang saat ini berlangsung, kecenderungannya merugikan Aceh sebagai sebuah wilayah yang mana secara langsung akan menerima dampak atas operasional perusahaan tambang tersebut.
Untuk itu hal ini perlu mendapat perhatian penuh dari Pemerintah Aceh guna meminimalisir timbulnya konflik baru.
Terkait hal ini Pemerintah Aceh perlu segera melakukan langkah-langkah strategis yang dilakukan secara bertahap, diantaranya: Pertama, Pemerintah Aceh harus melakukan langkah strategis dan khusus untuk menaikan posisi tawar terhadap kebijakan Pemerintah Pusat yang sering menghilangkan kewenangan Aceh dengan membentuk unit advokasi kebijakan nasional bersekala Aceh.
Kedua, pemerintah Aceh perlu membangun strategis khusus secara bersama dengan anggota DPR-RI dan DPD-RI perwakilan Aceh yang terpilih untuk membangun sinergi dalam melakukan advokasi terhadap kebijakan Aceh yang membutuhkan dukungan secara penuh. Ada kesan selama ini peran DPR-RI dan DPD dalam urusan Aceh khususnya menyangkut regulasi sangat lemah.
Sudah sepayutnya Pemerintah dan Pemerintah Aceh perlu memberikan perhatian khusus atas konflik pertambangan, karena jika tidak hal ini tidak saja akan menjadi bencana ekolohi tapi juga berpotensi menjadi baru dalam konstalasi pemerintahan lokal di Aceh. Semoga.
Penulis merupakan Koordinator GeRAK Aceh
Sumber : AJNN