GeRAK Aceh Barat: Pemerintah dan KLHK Tidak Serius Tangani Tongkang Batu Bara Yang Terdampar

Tongkang pengangkutan batu bara yang terdampar di pantai Nagan Raya. Foto untuk AJNN

ACEH BARAT – Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra menyoroti keseriusan Pemerintah dan juga Kementerian Lingkungan Hidup terkait aspek penegakan hukum di bidang lingkungan hidup, atas terdamparnya tongkang milik milik PT Adhi Guna Putera yang mengangkut batu bara milik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1-2.

Sebelumnya pada tanggal 14 Agustus 2020 GeRAK Aceh Barat sudah menyurati Gubernur Aceh (Saat itu masih PLT), Nova Iriansyah. Salah satu tembusan surat tersebut disampaikan juga kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Satuan Kerja Kementerian LHK,

Namun GeRAK menduga bahwa pemerintah, baik tingkat provinsi dan kabupaten serta Gakkum Kementerian LHK tidak serius dan tidak mampu memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan tersebut, apalagi rekanan tongkang dan batu bara tersebut terindikasi milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PLTU 1-2.

  “Kita ingin kejelasan atas proses penegakan hukum di bidang lingkungan hidup ini, di mana sudah jelas-jelas terindikasi ada dampak kerugian atas kandasnya Tongkang Sun Lion V yang dipenuhi batu bara dan tumpah ke laut,” ujar Edy Saputra kepada AJNN, Kamis (10/12/2020) melalui sambungan telepon dari Meulaboh.

Berdasarkan dokumen paska verifikasi lapangan yang dilakukan oleh pejabat Pengawas Lingkungan Hidup, Staf Seksi Standarisasi dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, dan juga Sekretaris DLH Kabupaten Nagan Raya tertanggal 12 Agustus 2020, disebutkan bahwa muatan batu bara dalam tongkang Sun Lion V sebanyak 1.500 metrik ton.

“Artinya kami ingin ketegasan atas hal ini, benarkah isi muatan Sun Lion V sebagaimana disebutkan dalam laporan berjumlah 1.500 metrik ton, namun dalam dokumen verifikasi lapangan belum menunjukkan daily report atas keakuratan jumlah batubara tersebut,” ujar Edy.

Hal tersebut menurut Edy sangat penting, mengingat dari awal semenjak tongkang itu terdampar ke bibir pantai, seluruh muatan batu bara tumpah ruah ke dalam laut. Selain itu tidak terhitung berapa total kerugian negara atas hal tersebut dalam kerusakan lingkungan bawah laut dan biotanya.

Bahkan dalam dokumen tersebut, kejadian atas kandasnya tongkang tersebut tercatat hingga sebanyak 2 (dua) kali, yaitu pada Januari 2019 dan Juli 2019. Kejadian tersebut juga mengakibatkan tumpahnya seluruh volume batu bara sebanyak 1.500 metrik ton.

“Tentunya kami menuntut agar pihak yang melaksanakan bongkar muat batu bara tersebut untuk bertanggungjawab sepenuhnya,” ujar Edy.

Bila merujuk kepada dokumen veridikasi lapangan tersebut maka maka pihak yang bertanggungjawab menurut Edy adalah PT. Adhi Guna Putera. Perusahaan tersebut juga disebutkan untuk melakukan clean up (pembersihan) atas tumpahan batubara di perairan laut dan Pantai Lhok.

Perintah lainnya adalah melakuan evakuasi Tongkang Sun Lion V di perairan laut dan pantai Lhok.  Untuk itu pihak GeRak Aceh Barat mengingatkan kalau kesehatan dan lingkungan hidup yang baik tidak boleh direnggut secara sewenang-wenang apalagi dengan dalih melakukan investasi.

Hal ini menurut Edy juga diatur dalam Undang – undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlidungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana disebutkan di dalam Bab I Ketentuan Umum,

Pada Pasal 1 UU tersebut disebutkan, “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Selain itu juga dituliskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut.

Namun faktanya, kata Edy hingga saat ini (Desember 2020). Evakuasi Tongkang Sun Lion V belum dilaksanakan, padahal bila merujuk kepada surat tersebut maka evakuasi tongkang selambat – lambatnya 5 (lima) minggu, yang berarti akhir November 2020 sudah selesai dilaksanakan.

Bahkan dalam tindak tanggap darurat tersebut, perusahaan wajib segera mencari solusi teknologi pembersihan/clean up bongkahan batu bara di dasar laut.

“Atas hal tersebut, kami menuntut agar pihak rekanan diberikan sanksi secara tegas, baik secara pidana dan juga mengganti kerugian (perdata),” ujar Edy.

Upaya lainnya adalah meminta pertanggungjawaban untuk segera melakukan pembersihan maksimal atas material batu bara yang tumpah ke dalam laut hal ini patut dilakukan sebagai upaya menghindarkan dampak pencemaran laut (lingkungan) dan meganggu kehidupan biota dalam laut.

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2O2O Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2OO9 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, dimana skemanya memungkinkan pemerintah memberikan sanksi administratif terhadap perusahaan. Seperti, proses audit dan investigatif, pembekukan izin, dan kemudian bila ditemukan ada proses yang dilanggar, maka hal ini memungkinkan untuk memberikan sanksi terhadap si pelaku usaha.

Sepatutnya bila merujuk kepada aturan tersebut kata Edy ada sanksi yang harus diberikan segera kepada pihak rekanan, dan atas hal itu GeRak meminta agar persoalan ini tidak boleh ditutup ke publik. Negara menurut Edy tidak boleh kalah atas ulah perusahaan yang jelas-jelas sudah menimbulkan dampak kerugian.

“Bila tidak, kami menduga ada sesuatu hal yang tidak beres sedang dipraktekkan di Republik ini dan terus berulang tanpa ada proses penyelesaian,” ujar Edy.

Selain itu GeRAk juga mendesak pihak terkait, dalam hal ini Syahbandar untuk perlu melakukan pemeriksaan secara akurat dan teliti terhadp hal-hal lain atau faktor lainnya atau kombinasi dari beberapa faktor seperti kerusakan mesin, tarikan kapal tunda yang kurang kuat, peta navigasi yang tidak diperbarui, serta kerusakan pada tali atau roda gigi penarik yang kemudian menyebabkan ketidakstabilan atau kerusakan struktural.

“Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah kembali terulangnya persoalan yang serupa di kemudian hari,” tutur Edy.

“Bahwa apa yang kami sampaikan adalah dalam upaya penegakan hukum dibidang pelayaran. Bukan tidak mungkin, kami menduga ada indikasi pelanggaran bila mengacu kepada Undang-undang (UU) Pelayaran dan ada pengabaian serta timbul unsur kesengajaan oleh perusahaan pengoperasi maupun syahbandar di pelabuhan tersebut,” pungkas Edy.

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/gerak-aceh-barat-pemerintah-dan-klhk-tidak-serius-tangani-tongkang-batu-bara-yang-terdampar/index.html.