Akademisi Aceh Dikritik Gegara Masih Bungkam Soal Runtuhnya Demokrasi

Gerakan Muda, Disabilitas dan Perempuan Aceh deklarasi pernyataan sikap prihatin rusaknya nilai demokrasi di Indonesia, Sekber, Senin (5/2/2024). Foto: (Bithe.co/Elza Putri).

“Kami menolak dan prihatin terhadap kemunduran demokrasi Indonesia saat ini,” kata perwakilan aliansi, Riski Amanda dalam aksi pernyataan sikap terkait “Keprihatinan Terhadap Bangsa atas Runtuhnya Nilai-Nilai Demokrasi di Sekretariat Bersama (Sekber), Senin (5/2/2024).

BITHE.co – Gerakan Muda, Disabilitas dan Perempuan Aceh menyatakan sikap prihatin terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Presiden RI, Joko Widodo dalam masa kampanye pemilu 2024.

“Kami menolak dan prihatin terhadap kemunduran demokrasi Indonesia saat ini,” kata perwakilan aliansi, Riski Amanda dalam aksi pernyataan sikap terkait “Keprihatinan Terhadap Bangsa atas Runtuhnya Nilai-Nilai Demokrasi di Sekretariat Bersama (Sekber), Senin (5/2/2024).

Ia mengkhawatirkan politik dinasti yang dapat mengancam demokrasi dan praktek pelanggaran-pelanggaran lain yang dilakukan oleh Presiden RI jelang pemilu 2024.

Acara dibuka dengan peserta menyanyikan lagu “Tanah Kami” dilanjutkan dengan membaca puisi tentang darurat demokrasi oleh seorang peserta disabilitas, Muhajir.

“Kami belum melihat adanya gerakan pernyataan sikap dari kampus-kampus dan pendidik-pendidik terkait gentingnya demokrasi. Kami inisiatif duluan, semoga dengan gerakan kami yang lain jadi termotivasi,” ujar Riski.

Sementara itu, perwakilan GeRAK Aceh, Destika Gilang Lestari mengkritik akademisi-akademisi di Aceh yang dianggap takut menyatakan sikap terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden RI.

“Akademisi di Aceh terlalu pengecut untuk menyuarakan tentang runtuhnya demokrasi yang ada, seharusnya akademisi di Aceh garda terdepan karena Aceh adalah daerah yang selalu berjuang,” kata Destika.

Destika menyebut kampus-kampus di Aceh yang belum bersuara seperti Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar Raniry. Menurut Della diamnya kampus-kampus besar di Aceh harusnya malu dengan 29 kampus di Indonesia yang sudah mengambil sikap terkait rusaknya demokrasi saat ini.

“Mereka memiliki ketakutan-ketakutan dan kita prihatin terhadap diamnya mereka. Akademisi yang punya keilmuan tinggi harusnya menjaga nilai-nilai demokrasi,” tegasnya

Seluruh peserta kemudian membacakan pernyataan sikap keprihatinan terhadap bangsa atas runtuhnya Nilai-Nilai demokrasi di Indonesia. Mereka meminta aparatur desa hingga nasional bersikap netral untuk menciptakan pemilu bersih, inklusif dan adil tahun 2024.

“Kami menolak pelanggaran konstitusi, pendangkalan hukum, penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan alat negara, dan mobilisasi masyarakat,” ujar Riski Amanda dari pengeras suara dan diikuti oleh peserta lainnya.

Mereka juga mengecam Presiden yang terang-terangan cawe-cawe dalam pemilu dan ingin mengkooptasi hasil pemilu. Sikap presiden yang terang-terangan berpihak kepada anaknya, membangun politik dinasti, bahkan mempermainkan undang-undang.

Mereka juga mendesak Presiden untuk berlaku adil dalam bertindak dan mengikuti koridor hukum dalam berkampanye. Mereka menilai meskipun Presiden berhak berkampanye berdasarkan UU namun menggunakan kekuasaan, sumberdaya serta aparatur negara untuk memenangkan pasangan calon presiden tertentu.

“Kami menuntut profesionalisme dan keterbukaan semua lembaga penyelenggara pemilu untuk memastikan pemilu yang adil, terbuka, dan damai,”

“Kami menyerukan gerakan besar-besaran pemantauan pemilu oleh berbagai elemen masyarakat, pengumpulan dan pendokumentasian berbagai peristiwa kecurangan dan melapor pelanggaran serta mengawal proses hukum negara demokrasi,” pungkas Riski.

Salinan ini telah tayang di https://www.bithe.co/news/akademisi-aceh-dikritik-gegara-masih-bungkam-soal-runtuhnya-demokrasi/index.html.