
Banda Aceh | Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani mengatakan pihaknya menunggu kelanjutan instruksi gubernur tentang moratorium tambang di Aceh. Pasalnya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah berjanji akan melanjutkan moratorium tambang.
“Kami menunggu moratorium tambang yang pernah disampaikan oleh Irwandi Yusuf,” kata Askhalani dalam workshop catatan akhir tahun tentang pengelolaan tambang di Aceh, Kamis (28/12) di Hotel Oasis, Banda Aceh.
Askhalani menjelaskan pihaknya mencatat banyak perubahan yang cukup signifikan selama periode moratorium izin tambang sejak tahun 2014-2017, yang pernah dikeluarkan oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Moratorium tambang tersebut sudah berakhir pada 25 Oktober 2017.
“Selama tiga tahun moratorium tambang yang dikeluarkan Zaini Abdullah, dari 138 Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 841 ribu hektar, saat ini berkurang menjadi 37 IUP dengan luas 156 ribu hektar,” ujar Askhalani.
Selain itu, kata Askhalani, sebanyak 101 IUP seluas 985 hektar telah dicabut atau berakhir masa berlakunya.
Namun Pemerintah Aceh perlu melakukan upaya mempertegas kembali status luasan bekas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang telah dikembalikan fungsinya dan upaya melakukan proteksi.
“Ini perlu dilakukan Pemerintah Aceh ke depan, kami akan terus mengawal SDA yang ada di Aceh,” tegas Askhalani.
Askhalani menambahkan perlu ketegasan Pemerintah Aceh untuk melakukan upaya pencegahan offensif terhadap IUP yang saat ini masih berstatus Non CnC dan berakhir masa berlakunya.
“Pemerintah Aceh perlu segera melakukan pengecekan lapangan terhadap izin-izin bermasalah tersebut,” katanya.
Gerak, kata Askhalani, juga menyorot ihwal keterbukaan informasi Aceh. Pasalnya pihaknya pernah melakukan uji akses ke beberapa dinas untuk meminta data.
Namun dari 12 permohonan yang diajukan, hanya satu permohonan yang diberikan data pada masa 10 hari kerja, tiga pemohon diberikan pada masa keberatan, dan 12 pemohon berujung pada sengketa informasi di Komisi Informasi Aceh.
“Kami melihat pelayanan informasi publik pada umumnya tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. Ini bisa dilihat dari turunnya peringkat dari provinsi terbuka yakni menjadi peringkat tiga, turun satu peringkat dari tahun lalu,” ujarnya.
Tak hanya itu, Askhal juga menyorot tentang penegakan hukum di sektor tambang. Pasalnya penegakan hukum di sektor tambang belum dilakukan secara maksimal di tingkat daerah.
“Kami sudah melaporkan tujuh kasus dugaan pelanggaran atau kejahatan SDA. Lima kasus kami laporkan tahun 2016, sementara pada tahun 2017, kami melaporkan dua kasus ke Kementerian LHK dan Kementerian ESDM,” ungkapnya.
Namun, kata Askhal, hingga kini laporan yang diberikan tidak mendapatkan respon dari institusi penegak hukum. “Makanya kami mendorong gubernur membentuk tim penegak hukum kejahatan SDA dengan melibatkan instansi penegak hukum daerah,” katanya.
Sumber : Beritakini