Setelah Ber-GeRAK 17 Tahun

Ilustrasi | kompas.com

Sepanjang 17 tahun, GeRAK menjadi saksi sejarah korupsi di Aceh dilakukan ugal-ugalan. Tak ubahnya balapan liar.

HAMPIR dua dasawarsa, satu persatu LSM antikorupsi di Aceh bertumbangan. Mereka mati bergilir dilindas roda kehidupan. “Makam”-nya pun tak tau dicari di mana. Padahal dulu, LSM antikorupsi bertumbuhan seperti jamur di musim hujan.

Tanpa menafikan yang lain, LSM GeRAK (Gerakan Antikorupsi) Aceh patut kita apresiasi. Di tengah tekanan politik, gertakan verbal, bahkan ancaman nyawa, GeRAK masih eksis menegakkan kebenaran demi kebenaran yang coba dibengkokkan.

GeRAK adalah salah satu LSM antikorupsi yang masih tersisa di Aceh saat ini. Bahkan, GeRAK sudah berafiliasi dengan lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI di Jakarta.

Di tangan anak-anak muda seperti Askhalani (Koordinator), Hayatuddin, Fernan dan kawan-kawan, integritas GeRAK terus dirawat dan dijaga. Mereka rela jadi palang pintu menghadang ruang gerak politisi-potisi busuk dan birokrat korup. GeRAK bergeming meski berkali-kali digempur serangan.

Berdiri sejak 29 November 2003, ide pembentukan GeRAK Aceh diletupkan dari gagasan pemikiran enam aktivis antikorupsi dan lingkungan. Mereka adalah Akhiruddin Mahjuddin, Bambang Antariksa, Hemma Marlenny, Muhammad Ibrahim (alm), Keuchik H Jailani Hasan Riseh (alm) dan Misran Nirto.

Enam penggawa GeRAK waktu itu bersepakat memotret gerakan antikorupsi yang ada di Aceh. Ada dugaan sejumlah lembaga antikorupsi disusupi orang-orang lingkaran kekuasaan, bahkan pelaku korupsi itu sendiri.

Beberapa lembaga antikorupsi yang dulunya eksis, pada 2003 menampakkan gejala kevakuman. Inilah yang kemudian membuat pelaku korupsi merajalela. Mereka seperti kehilangan musuh besarnya.

Saat itu nyaris tidak ada lagi kekuatan penyeimbang. Alat kontrol dan advokasi terhadap kasus-kasus korupsi juga sama, melemah. Maka kehadiran GeRAK diposisikan sebagai LSM antikorupsi yang mengambil peran “genting” untuk mengisi kealpaan itu.

Memasuki usia 17 tahun pada 29 November 2020, GeRAK semakin “berotot” di gelanggang pemberantasan korupsi di Aceh. Kita patut bangga. Beberapa kasus hasil investigasi GeRAK, sebagian besar bergulir ke ranah hukum. Dari kelas bawah, menengah, hingga gubernur.

Bahkan, dari rahim GeRAK telah lahir Sekolah Antikorupsi Aceh (SAKA). Ini adalah sekolah antikorupsi pertama di Indonesia. Dari ruang-ruang belajar di sekolah ini, seruan melawan korupsi terus diteriakkan di setiap jam mata pelajaran dan napas perjuangan.

GeRAK, sepanjang 17 tahun, juga telah menjadi saksi sejarah bagaimana korupsi di Aceh dilakukan secara ugal-ugalan. Tak ubahnya balapan liar. Para penyelenggara pemerintahan memainkan trup politik berbasis bisnis tanpa pandang bulu.

Seperti di jalanan, mereka saling kebut dan berlomba membawa lari uang negara. Puluhan, bahkan ratusan triliun rupiah dana yang dikelola Aceh berceceran di rumah-rumah pribadi pejabat publik dan oknum aparat yang berkongsi dengan pengusaha nakal.

Sejatinya, uang-uang itu adalah hak ummat. Hak untuk menyehatkan dunia usaha dan UMKM. Tapi, apa yang terjadi? Keserakahan aparatur penyelenggara pemerintahan di Aceh justru mewariskan generasi korup melebihi dua dasawarsa, jauh melompati eksistensi LSM antikorupsi di Aceh.

Maka GeRAK, teruslah bergerak hingga waktu yang menghentikan. Kebenaran pasti menunjukkan jalannya. Bara perjuangan para aktivis antikorupsi cepat atau lambat akan menghanguskan arogansi para koruptor! Tak sekarang, mati nanti pasti diadili, seadil-adilnya. Happy Sweet Seventeen GeRAK Aceh!

Sumber : KBA.ONE