ACEH BARAT – Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh menilai PT. Mifa Bersaudara belum terbuka dalam sistem reklamasi terhadap lahan pasca tambang. Padahal keterbukaan merupakan jaminan terkait pengelolaan dampak lingkungan bagi kawasan tambang.
Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, mengungkapkan mencuatnya persoalan itu saat pihaknya meminta diberikan ruang akses untuk terlibat dalam memantau kawasan tambang.
“Alasan mereka menutupi dengan tidak mengizinkan kami untuk melihat apa yang sudah dilakukan di kawasan pasca tambang dapat mengganggu investasi,” kata Askhalani dalam diskusi tata kelola tambang bersama wartawan Aceh Barat, Senin (13/6) yang bertempat di Meulaboh.
Menurut Askhalani, harusnya publik berhak tahu terkait dengan pengelolaan tambang yang dilakukan perusahaan tambang batu bara PT. Mifa Bersaudara terutama dalam melakukan reklamasi.
“Tujuan kami ingin masuk ke PT Mifa Bersaudara adalah untuk melihat apakah sudah melakukan reklamasi seperti apa yang diatur dalam undang- undang lingkungan hidup maupun aturan lainnya yang berlaku,” ungkapnya.
Padahal, menurut putra Aceh Barat Daya itu sebagai perusahaan yang sudah mendapat predikat good mining practice harusnya tidak tertutup dengan pengelolaan kawasan tambang terutama dalam menunjukan sistem reklamasi yang sudah dilakukan.
“Dugaan ini juga terkait dengan surat yang dilayangkan Bupati Aceh Barat Teuku Alaidinsyah kepada perusahaan itu, yang menyebutkan tentang reklamasi yang dilakukan tahun 2014 belum sesuai yang direncanakan, seperti yang diatur dalam permen ESDM Nomor 7 tahun 2014,” ungkapnya.
Surat yang dikirimkan bupati kepada PT.Mifa sendiri, kata Askhal, pada 17 April 2015 lalu, sedangkan pihaknya mengirimkan surat pada Mei 2016.
“Padahal kami masuk juga bersama dengan Dinas Pertambangan Dan Energi (Distamben) Aceh, tapi perusahaan tersebut malah menolaknya dan hanya mengizinkan Distamben Aceh saja yang bisa melihat kawasan tersebut dengan dalih mengganggu iklim investasi tidak masuk akal,” jelasnya.
Askhalani menambahkan, padahal jika perusahaan tersebut terbuka dan mengizinkan mereka memantau sistem yang dilakukan perusahaan malah memberikan keuntungan tersendiri bagi perusahaan itu.
“Jika diizinkan akan menguntungkan perusahaan itu, kenapa kami katakan demikian, karena apabila ada persoalan yang tidak berlaku dengan baik, kami bisa memberikan masukan sehingga akan dapat dilakukan sesuai aturan berlaku,” ujarnya.
Selain itu, Askhal mengungkapkan jika pihaknya melihat sistem reklamasi yang dilakukan PT. Mifa sangat baik, maka bisa menjadi rekomendasi kepada Pemerintah Aceh sehingga perusahaan- perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh mengikuti pola yang diterapkan oleh perusahaan yang menjadi bagian dari ABM Investama itu.
Namun sayangnya perusahaan tersebut malah menutup diri sehingga terkesan dimata publik perusahaan itu tidak menjalankan apa yang menjadi peraturan perundang- undangan atau aturan lainnya yang berlaku.
“Dengan persoalan ini kami berharap PT. Mifa dapat terbuka, dan memberikan ruang kepada publik untuk menilai kerja mereka dengan melihat sistem pengelolaan tatakelola tambang terutama dalam hal reklamasi tanpa harus menutup diri,” imbuhnya.
Sebuah perusahaan disebut telah menjalankan good mining practice, kata Askhal, sebenarnya bukan hanya tertib adminstrasi atau patuh dalam memenuhi penyaluran dana Coorporate Social Responsibility (CSR) maupun membayar royalti dan Pajak Pertambahan Nilai serta lanrent semata, tapi juga terbuka dalam pengelolaan reklamasi.
“Saya mencontohkan di Kalimantan, setiap perusahaan pertambangan terbuka terhadap publik seperti mengajak wartawan atau LSM disana melihat pola yang diterapkan perusahaan tambang itu terkait reklamasi yang mereka lakukan,” ungkapnya lagi.
AJNN