Indonesia adalah produsen batubara terbesar kelima di dunia setelah China, Amerika Serikat, India dan Australia. Sebelum tahun 2015, Indonesia merupakan eksportir batubara terbesar di dunia dengan rata-rata produksi yang tercatat di tahun 2012-2015 mencapai lebih dari 400 juta ton per tahun. Sedangkan sumberdaya batubara Indonesia saat ini mencapai 99,2 miliar ton dengan cadangan terbukti mencapai 13,3 miliar ton, yang mayoritas tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan dan sebagian Papua.
Jika diasumsikan rata-rata produksi per tahunnya tetap (461 juta ton/tahun) dan tidak ada penambahan data cadangan terbukti, maka batubara di Indonesia diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 29 tahun mendatang, atau tepatnya hingga tahun 2046. Dari sisi manfaat bagi perekonomian, kontribusi batubara masih sangat minim, hanya berkontribusi rata-rata 2,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada kurun waktu 2010-2015 (BPS, 2016). Dari total produksi yang ada, rata-rata hanya 15-25% yang digunakan di dalam negeri (terutama untuk pembangkit listrik), sementara sebagian besar lainnya diekspor.
Sejarah produksi batubara Indonesia diawali pada periode booming pertama di tahun 1989-1999 (dengan kenaikan produksi mencapai 30% per tahun), kemudian dilanjutkan dengan booming kedua antara tahun 2009 hingga 2013/2014 terutama yang didukung oleh desentralisasi kewenangan pemberian izin kepada pemerintah daerah. Kondisi booming tersebut ternyata menyisakan problem carut marutnya tata kelola batubara yang semakin kompleks, mulai dari proses penerbitan izin yang tidak sesuai prosedur sehingga muncul masalah tumpang tindih izin dan atau berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung (secara terbuka); lemahnya pengawasan dan penerapan good mining practices telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hingga meninggalkan bekas lubang yang menelan korban jiwa; lemahnya pengawasan produksi dan pengapalan, hingga tidak jarang adanya terpaan isu ekspor yang merugikan keuangan negara; serta masih rendahnya kepatuhan kewajiban fiskal pelaku usaha kepada negara seperti adanya tunggakan PNBP, rendahnya rasio pajak pertambangan, hingga minimnya pengalokasian dana jaminan reklamasi dan pasca-tambang.
Laporan ini menyajikan potret masalah dan capaian dari penataan sektor batubara yang ditemukan dan disupervisi oleh KPK dalam program koordinasi dan supervisi (Korsup) sektor pertambangan yang digawangi oleh Divisi Litbang – Deputi Pencegahan KPK. Korsup Minerba yang merupakan bagian dari Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) ini merupakan bagian dari trigger mechanism KPK untuk mencegah adanya tindak pidana korupsi dan kerugian negara, serta mendorong perbaikan tata kelola yang lebih baik di sektor pertambangan. Secara garis besar laporan ini meliputi ulasan temuan di sektor batubara dari aspek administrasi dan kewilayahan. Laporan ini disajikan bersama data dan analisis temuan, tindak lanjut dan capaian, serta rekomendasi-rekomendasi dalam proses penertiban dan penataan yang dilakukan oleh Korsup KPK bersama dengan Kementerian ESDM dan instansi terkait seperti Pemda, pelaku usaha, dan elemen penegak hukum maupun unsur organisasi masyarakat sipil.
Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada tim penyusun dan segenap pihak yang membantu dan mendukung penerbitan laporan ini: Agung Budiono dan Rizky Ananda yang merupakan tim peneliti sektor batubara dari Publish What You Pay Indonesia; Bapak Dian Patria dan Mbak Epa Kartika serta tim Korsup Minerba lainnya di Kedeputian Pencegahan KPK; Jensi Sartin yang membantu proses penerjemahan ke dalam bahasa Inggris, Mas Agus yang membantu proses lay out, serta pihak-pihak terkait lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu di sini. Akhir kata, kami sangat terbuka atas masukan, saran dan kritik dari pembaca dan berbagi pihak, bagi kesempurnaan dan manfaat dari laporan ini bagi perbaikan tata kelola pertambangan dan sumberdaya alam di Indonesia.
Sumber : https://acch.kpk.go.id
Indonesia Version |