Lembaga Anti Korupsi Itu Bernama Gerak Aceh

Hari itu kamis udara berhembus dengan perlahan, sedikit membuat suasa menjadi rilek maklum dalam dua hari sebelumnya kota Banda Aceh diguyur hujan dan panas menyengat, di penghujung jalan prada utama yang berbatasan dengan Desa Lamgugob suasana sedikit sepi, waktu itu jam ditangan baru menunjukan angka 09.00 wib, dimana waktu yang bersamaan banyak para pekerja atau pelajar sebagian besar sedang memulai aktivitas sehari-hari, tapi tidak dengan aktivitas di lembaga anti korupsi atau lebih dikenal luas di Aceh dengan sebutan LSM GeRAK (gerakan anti korupsi), yang pada saat itu sedang rame disertai suara gaduh dimana pada hari tersebut GeRAK Aceh menyelenggarakan satu kegiatan yaitu refleksi akhir tahun tentang “flas back kinerja pemerintah Aceh tahun 2007-2010”. Ide pembentukan GERAK Aceh dimulai pada penghujung tahun 2003, dimana beberapa orang aktivis anti korupsi dan aktivis lingkungan melakukan analisis terhadap gerakan anti korupsi yang telah ada di Aceh saat itu. Dari diskusi tersebut dihasilkan rekomendasi bahwa ada dugaan sejumlah lembaga anti korupsi yang saat itu berkiprah di Aceh, diduga kuat gerakannya telah disusupi oleh orang-orang yang dekat dengan penguasa bahkan pelaku korupsi itu sendiri. Melihat kondisi yang demikian tersebut, lahirlah ide untuk membentuk suatu lembaga anti korupsi, dimana prinsip kehati-hatian dan idealisme perjuangan dalam hal rekruimen anggota dan pengurus menjadi factor yang sangat penting. Oleh karenanya atas inisiatif 6 (enam) orang aktifis yakni, Akhiruddin Mahjuddin, Bambang Antariksa, Hemma Marlenny, Muhammad Ibrahim, Keuchik H. Jailani Hasan Riseh dan Misran Nirto sepakat untuk mendirikan Gerakan Anti Korupsi Aceh (GERAK Aceh) dan tanggal yang disepakati bagi pendirian GERAK Aceh adalah 29 November 2003. Pada bulan Desember 2004, GERAK Aceh melakukan pengurusan pembuatan Akta Pendirian untuk memperjelas status hukum GERAK Aceh. Dalam pandangan LSM GERAK Aceh seperti yang diutarakan oleh koordinator badan pekerja Askhalani atau sering disapa Askhal mengungkapkan bahwa, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang hidup dalam kondisi berkeadilan sosial, sejahtera dan bebas dari korupsi. Hal ini lah yang menjadi visi dari GERAK Aceh. Dalam mewujudkan visi tersebut, GERAK Aceh memiliki sejumlah misi yang ingin dicapai, yaitu Pertama Meningkatnya kapasitas antikorupsi anggota GERAK Aceh; Kedua Mewujudkan masyarakat sipil yang sadar dan kritis terhadap fenomena korupsi; Ketiga Menciptakan penyenggaran pemerintahan negara yang berkeadilan, memenuhi kebutuhan dan hak dasar rakyat, serta bebas korupsi; Gebrakan LSM GERAK Aceh Dalam Memberantas Korupsi di Negeri Syariat Isu korupsi menjadi fokus kerja utama dari kerja-kerja GeRAK Aceh, hal ini sebagaimana tertuang dalam landasan kerja yang dilakukan setiap tahun. Ada empat (4) landasan utama gerakan yang dilakukan diantaranya adalah, pertama pemberantasan korupsi, kedua Advokasi dalam hal penganggaran dan pendidikan kritis masyarakat, ketiga pemantauan parlement (eksekutif dan legislatif), keempat monitoring peradilan (kinerja aparat hukum; polisi, Kejaksaan dan hakim). Dalam perjalanan panjang tentang pemberantasan korupsi di Aceh, GeRAK membeberkan beberapa kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi kurun waktu tahun 2009-2010 sebagaimana yang dilangsirkan dalam diskusi “flas back kinerja pemerintah Aceh tahun 2007-2010” mencatat ada 171 kasus dugaan tindak pidana korupsi di seluruh wilayah hukum Aceh baik di kabupaten dan kota maupun skala Provinsi Aceh, dengan total indikasi kerugian negara mencapai Rp.1,8 Triliun yang terdiri dari dana APBA, APBK dan bantuan pemerintah pusat yang masuk dalam alokasi anggaran dana alokasi khusus. Askhal menjelaskan bahwa sudah menjadi wacana umum kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang terjadi di Aceh bukan lagi perbuatan personal, melainkan sudah sering dilaksanakan secara berjama’ah (bersama-sama) dan tak jarang dilakukan oleh institusi atau koorporasi. Jelas terlihat ketika iklim Aceh yang tidak kondusif, praktek korupsi kian merata mulai dari pengusaha, lembaga pemerintah (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) yang disinyalir sebagai institusi yang paling rentan terhadap korupsi, seperti kasus Pengelapan Pajak yang dilakukan Mantan BUD di Biruen dan indikasi setoran pajak fiktif di lingkungan pemerintah Aceh. Begitu juga upaya suap dan gratifikasi kerap terjadi pada anggota dewan maupun eksekutif. Jika pemerintahannya saja korup, otomatis program kerja selama masa pemerintahannya akan sulit untuk berjalan optimal, dengan kata lain tujuan program kerja pemerintah untuk kesejahteraan rakyat tidak bisa dicapai jika masih ada korupsi. Di Aceh, kasus Tipikor juga banyak yang terjadi secara berjamaah maupun personal yang dilakukan baik oleh aparat pemerintahan, seperti kasus indikasi korupsi berjamaah dalam deposito keuangan daerah Kabupaten Aceh Utara pada Bank Mandiri Cabang Jelambar Jakarta Barat. Kasus indikasi korupsi TVRI, penjualan besi bekas, kasus CT Scand dan MRI serta pada proyek Multyears. Begitu juga dengan kasus–kasus Indikasi Tipikor lainnya di Aceh, masih belum ada titik terang penanganan secara hukum. Hal ini tentu membuat masyarakat menjadi risih dan kecewa terhadap titik terang kasus-kasus yang selama ini masih berada pada penanganan aparatur penegak hukum di Aceh. Akibatnya, ketika lembaga penegak hukum belum mampu memberikan hasil maksimal, telah menjadi preseden buruk yang melekat pada proses penegakan hukum di Aceh. Proses penanganan terhadap kasus-kasus indikasi Tindak Pidana Korupsi di Aceh untuk segera menjadi pekerjaan utama aparatur penegak hukum sekaligus menjadi titik awal upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Aceh. Dengan tidak bermaksud menutup mata serta mengurangi penghargaan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan dan penegakan hukum korupsi yang terjadi di negeri ini, maka sudah waktunya untuk melakukan evaluasi baik terhadap produk perundang-undangan maupun terhadap fungsi dan peranan lembaga-lembaga termasuk aparat penegak hukum dengan melalui pendekatan politik hukum pidana secara komprehensif baik yang berorientasi pada pendekatan penal (sanksi) maupun yang berorientasi pada pendekatan non penal yang lebih mengedepankan pendekatan preventif yang selama ini belum tersentuh dan lebih banyak berorientasi pada pendekatan repressif melalui perpaduan sanksi pidana dengan sanksi denda. Peran Masyarakat Sipil dalam pemberantasan Korupsi di Indonesia Secara menyeluruh, gerakan perlawanan anti korupsi yang dilakukan oleh komponen sipil “non-Pemerintah” dan media untuk memerangi korupsi merupakan suatu kombinasi, dimana pasca runtuhnya kekuasaan diktator orde baru merubah semua pola dan gerakan masyarakat Indonesia secara bersama-sama untuk melakukan reformasi ketatanegaraan di Indonesia dan bahkan termasuk dalam melakukan perang terhadap prilaku koruptif. Dilain pihak, kapasitas dan pengaruh dari mayoritas LSM condong sangat terbatas, dan relatif hanya beberapa LSM yang mampu berperan sebagai pengawas terhadap korupsi (watchdog) anti korupsi yang kompoten. Askhal juga merincikan bahwa saat ini negara telah memberi peluang terhadap keterlibatan masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan dan peningkatan peran dalam pemberantasan korupsi di Indonesia diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Bab VI, Pasal 8 dan Pasal 9, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Bab V, Pasal 41 Ayat 1 dan 2, serta PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Pidana Korupsi, pengakuan ini menjadi salah satu acuan sebagai pintu masuk bagi seluruh komponen sipil untuk terlibat dalam pengawasan serta perang terhadap prilaku koruptif. GeRAK Aceh mengharapkan bahwa kelompok masyarakat sipil dapat memainkan peran yang lebih besar dan lebih penting dari pada yang terjadi saat ini. Berbagai sektor kelompok masyarakat sipil yang memiliki potensi yang paling besar termasuk didalamnya universitas, siswa/mahasiswa, media dan berbagai asosiasi lembaga profesi, hal ini penting mengingat, perhatian serius perlu diberikan oleh komponen sipil untuk menghindari pengaruh yang sifatnya korup dan korosif dari praktek “politik uang”, suap dan Kolusi baik atas birokrasi pemerintahan, partai politik serta pengawalan parlemen dan aparat penegak hukum. Demikian diungkapkan oleh koordinator GeRAK Aceh Semoga!!

Oleh Arief Fadhilah