
Oleh: Muhammad Azkia
Salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Provinsi Aceh adalah adanya cadangan Sumber Daya Alam (SDA) di sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba). Kekayaan alam ini merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara dan harus dikelola dengan prinsip tata kelola tambang yang baik (good mining practice), sehingga manfaat pertambangan akan dapat memenuhi hajat hidup orang banyak.
Prinsip tata kelola tambang yang baik berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keberpihakan kepada kepentingan bangsa, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Banyaknya cadangan SDA sektor pertambangan minerba di Aceh membuat pertumbuhan investasi di bidang ini cukup subur dan signifikan. Keuntungan yang didapatkan dari usaha pertambangan cukup menggiurkan. Jika hanya berorientasi untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah semata, maka besar kemungkinan usaha pertambangan akan dilakukan dengan berbagai cara. Seperti misalnya penggunaan bahan kimia berbahaya dan dapat berdampak terhadap kerusakan lingkungan, serta mengancam kesehatan manusia. Dampak lain yang sering timbul adalah konflik dengan masyarakat di lingkungan tambang.
Usaha pertambangan minerba di Aceh saat ini umumnya masih jauh dari prinsip pengelolaan yang baik. Sehingga diperlukan upaya-upaya kongkrit agar dapat menyelamatkan SDA di sektor pertambangan. Selama ini usaha pertambangan sangat meresahkan masyarakat sekitar lokasi tambang. Bahkan para pelaku usaha dengan tidak mudahnya memasuki kawasan hutan lindung yang jelas-jelas dilarang. Apabila ini diteruskan, bisa jadi daerah tersebut akan hancur oleh bencana seperti banjir, longsor.
Tahun 2012 terdapat 138 Izin Usaha Pertambangan (IUP) beroperasi di Aceh yang tersebar di 15 kabupaten/kota. Namun Gubernur Aceh saat itu Zaini Abdullah mengeluarkan Instruksi Gubernur Aceh Nomor 11/Instr/2014 tentang moratorium tambang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Tiga tahun berjalannkan Ingub itu, Pemerintah Aceh berhasil mencabut puluhan izin perusahaan yang nakal dan bermasalah.
Sementara, data IUP tambang tahun 2016, terdapat 46 perusahaan yang memiliki IUP yang tersebar di 12 kabupaten/kota. Sebanyak 24 IUP merupakan jenis IUP eksplorasi. Sedangkan sebanyak 22 IUP merupakan jenis IUP Produksi. Kabupaten/kota yang menjadi WIUP tersebut yaitu Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, Gayo Lues, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, dan Aceh Singkil. Adapun yang menjadi komoditi tambang yaitu Emas, Batubara, Bijih Besi, dan Pasir Besir. (Sumber Portal Data GeRAK Aceh).
Selain pertambangan yang memiliki IUP bermasalah, berbeda halnya dengan kondisi pada pertambangan rakyat yang tidak memiliki IUP atau keberadaannya dinyatakan ilegal. Selain tidak memiliki standar kerja, juga berpotensi menggunakan bahan kimia yang berbahaya bagi ekosistem lingkungan sekitar. Kehadiran tambang ilegal di tengah masyarakat akibat dari kurangnya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah. Selain itu juga karenakan faktor ingin mendapatkan rupiah yang banyak dengan cara cepat, tanpa menghiraukan dampak bahaya yang akan diakibatkan.
Banyak perusahaan yang IUP nya dicabut saat pemberlakuan moratorium tambang. Kemudian sebagian usaha tersebut beralih tangan kepada penambang tradisional. Tidak hanya pada lokasi tambang yang IUP nya dicabut, penambang tradisional juga siap bertaruh nyawa dengan menggali lobang hingga dengan kedalaman tertentu. Kondisi ini sangat berbahaya dengan geografis Aceh yang sering mengalami bencana alam.
Keberadaan tambang ilegal tidak berpengaruh terhadap pemasukan negara ini yang berhak mengawasi adalah pihak aparat berwenang. Sementara usaha pertambangan yang memiliki IUP maka perlu dilakukan pengawasan dan pengelolaan yang baik oleh dinas teknis maupun dinas terkait lainnya.
Bisa di pastikan tidak ada pertambangan yang benar-benar tidak berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Bekas lokasi usaha pertambangan yang di tinggalkan harus dikembalikan ke bentuk semula atau sebagaimana kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan. Jika keberadaan penambang ilegal karena desakan ekonomi untuk mencari sesuap nasi. Sebaliknya tambang berizin lebih kepada mengeruk untuk menumpuk pundi-pundi rupiah.
Keduanya tetap harus dilakukan pengawasan agar usaha penambangan tetap terjaga dan dikelola dengan baik. Jika sektor pertambangan luput dari pengawasan dan pengelolaan yang baik, kita khawatir suatu saat nanti kita akan lihat liang lahat yang akan dijadikan objek tambang. Wallahu A’lam.
Penulis adalah Alumni Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) dan Sekolah Pertambangan Aceh
Sumber : AJNN