BANDA ACEH – Sejumlah masa yang tergabung dalam Koalisi Peduli Sumber Daya Alam (SDA) Aceh mendesak Gubernur Aceh Irwandi Yusuf melanjutkan Ingub nomor 9 tahun 2016 tentang moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara yang akan berakhir pada 25 Oktober 2017 mendatang.
“Kami minta Gubernur Aceh untuk melanjutkan moratorium tambang demi menyelamatkan hutan dan alam Aceh,” teriak Koordinator Aksi, Tajul Ula dalam orasinya saat melakukan berunjuk rasa di Simpang Lima Banda Aceh, Rabu (18/10).
Tajul mengatakan, selama diterapkannya Ingub tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara sejak 2014 hingga 2017, langkah ini menjadi salah satu champions yang berhasil ditingkat nasional dan bahkan menjadi role model dalam penerapan tata kelola pertambangan yang baik, kemudian disisi lain Aceh menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang berhasil mengurangi jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar dikawasan baik hutan konservasi maupun hutan lindung.
“Berdasarkan hasil catatan GeRAK Aceh diketahui bahwa selama berlakunya Instruksi Gubernur Aceh tentang Moratorium tambang, saat ini menurun (per Oktober 2017) hanya tersisa 35 IUP lagi. Untuk itu sangat penting bagi pemerintah dalam hal ini Gubernur Aceh melanjutkan kembali moratorium Tambang supaya lahan dan hutan Aceh dapat diselamatkan,” jelasnya.
Tajul menyampaikan, hingga Oktober 2017, Pemerintah Aceh belum menerbitkan Surat Keputusan (SK) pencabutan terhadap IUP bermasalah di Aceh, padahal dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah telah disebutkan kewenangan menerbitkan dan mencabut IUP ada di provinsi.
Kemudian, lanjutnya, banyak perusahaan tambang di Aceh yang belum memenuhi kewajibannya secara aturan pertambangan diantaranya tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai Rp 41 miliar. Maka menjadi penting bagi pemerintah Aceh untuk melanjutkan kembali moratorium IUP serta kemudian mengevaluasinya.
“Untuk itu pemerintah Aceh segera melanjutkan kembali moratorium tambang agar tatakelola tambang di Aceh menjadi lebih baik dan menjadi contoh bagi daerah lain dalam penerapan moratorium tambang,” pintanya.
Tajul juga menjelaskan, saat ini Qanun Aceh tentang Pertambangan telah dicabut dan dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri, artinya saat ini Provinsi Aceh dalam “kekosongan regulasi” dan untuk menimalisir kekosongan hukum maka salah satu cara adalah melanjutkan Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara ini.
Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung menuturkan, berdasarkan hasil Korsup KPK tahun 2014-2015 menemukan fakta bahwa terdapat tunggakan piutang negara (PNBP) tambang minerba di Aceh sebesar Rp 24,7 miliar yang tidak dibayar oleh perusahaan yang sudah mengantongi izin IUP, tunggakan ini bukan hanya terkait persoalan kerugian pajak semata, tetapi yang lebih parah adalah tunggakan ini cukup berpengaruh terhadap PAD yang setiap tahun dipakai oleh Pemerintah Aceh untuk memperbaiki kerusakan lingkungan di wilayah bekas tambang dan wilayah lain yang menjadi dampak akibat banjir bandang.
Hayatuddin menilai Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara yang sudah berjalan saat ini belum mampu menjawab persoalan upaya penegakan hukum terhadap maraknya pertambangan ilegal tanpa izin, tercatat saat ini PETI ilegal menjadi salah satu momok yang paling menakutkan, hal ini tidak terlepas dari semakin banyaknya tambang ilegal yang terjadi dibeberapa kabupaten di Aceh.
“Provinsi Aceh adalah wilayah rawan bencana, sehingga perlu menata kembali secara komprehensif praktek tambang di wilayah rawan bencana alam dan salah satu cara yang tepat adalah lewat mekanisme Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara,” pungkas Hayatuddin.
Apalagi, Kata Hayatuddin, saat ini Pemerintah Aceh mempunyai misi Aceh Green (Aceh Hijau), maka dengan melanjutkan moratorium tambang bisa menjadi salah satu realisasi misi Irwandi-Nova dalam menyelamatkan alam Aceh secara berkelanjutan demi masa depan Aceh yang lebih baik.
Koalisi Peduli Sumber Daya Alam Aceh ini tergabung dari GeRAK Aceh, Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA), Komunitas Anti Korupsi Aceh (KAKA), Jaringan Monitoring Tambang (JMT), BEM Poltekkes Aceh, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Pendidikan Pendampingan Perempuan dan Masyarakat (P3M), dan Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Aceh Tengah (IPPEMATA).
Sumber : AJNN