GeRAK Temukan Indikasi Korupsi Pembebasan Tanah untuk Rumah DPRA

Banda Aceh – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menemukan indikasi korupsi dan potensi kerugian negara sebesar Rp 1.513.639.000,- dalam kegiatan pembebasan tanah sisa untuk pembangunan rumah dinas anggota DPR Aceh di Gampong Meunasah Papeun, Kecamatan Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Hal itu diungkapkan Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada AtjehLINK, Jumat (13/05/2016).

Menurut Askhalani, hasil investigasi GeRAK Aceh, pembebasan tanah sisa untuk pembangunan rumah bagi anggota DPRA, yang dilaksanakan pada tahun anggaran DIPA 2014-2015 oleh bagian kesekretariatan DPRA, telah terjadi korupsi yang terencana dan terstruktur. Hal ini, kata dia, dapat dilihat dari mekanisme pelaksanaan pembebasan yang ditenggarai tidak sesuai dengan nilai jual objek pajak (NJOP) di lokasi tanah tersebut berada.

Kemudian, lanjut Askhlani, juga ditemukan adanya dugaan double bayar terhadap tanah yang sama. Bahkan, yang lebih mencengangkan, si pemilik tanah diduga tidak menerima bayaran sesuai dengan bukti pembelian tanah sebagaimana yang dituangkan dalam bukti sah pembayaran tanah dimaksud.

“Berdasarkan hasil investigasi GeRAK Aceh terhadap pelaksanaan pembebasan tanah untuk rumah DPRA, ditemukan beberapa informasi yang cukup penting dan menjadi petunjuk awal bagi aparat hukum khususnya Kejaksaan Tinggi Aceh untuk melakukan penyidikan. Bahwa lokasi pembebasan tanah ini berada di Gampong Meunasah Papeun Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar, sebelumnya tanah ini diduga sudah dibebaskan pada tahun 2007 berbarengan dengan pembebasan tanah untuk pembangunan rumah DPRA, tetapi cukup aneh tiba-tiba bagian kesektretariatan DPRA kembali melakukan pembayaran terhadap objek tanah yang diduga sudah dibayar dengan jumlah tanah luas 1.871 meter2, dengan total uang yang dikeluarkan sebanyak Rp. 2.449.139.000,- sehingga asumsi harga per meternya adalah Rp1.309.000/meter­­­,” ungkap Askhalani.

Kajian GeRAK, sebut Askhalani, diduga bahwa pembayaran terhadap tanah ini tidak sesuai dengan NJOP yang berlaku di lokasi tanah yang berada diwilayah Aceh Besar. Penelusuran tim GeRAK Aceh, menemukan bukti dari penaksir harga tanah menggunakan asumsi NJOP terhadap wilayah Kota Banda Aceh. Sehingga nilai yang dipakai untuk membayar terhadap tanah ini cukup tinggi, padahal khusus untuk wilayah Aceh Besar (lokasi tanah untuk rumah dinas DPRA) harga NJOP dan harga tanah ditaksir hanya Rp 500.000/meter. Sehingga jika ditotalkan hanya menghabiskan uang sebesar Rp. 935.500.000.

“Dan atas fakta ini patut diduga negara dirugikan cukup besar yaitu sebesar Rp.1.513.639.000,” tutur Askhalani.

Selain itu, sambung Askhlani, pembebasan tanah tersebut menggunakan pihak ketiga yakni kuasa dari pemilik tanah. Anehnya, si pemilik tanah tidak mengetahui berapa jumlah total uang yang diperoleh dari hasil pembebasan tanah tersebut.

“Berdasarkan informasi diketahui si pemilik tanah hanya memperoleh uang sebesar Rp.900.000.000. Sementara sisa dari Rp. 2.449.139.000,- yang berjumlah sebesar Rp1. 549.139.000,- tidak diketahui oleh si pemilik tanah. Berdasarkan ini pihak aparat hukum sudah memiliki dasar dan unsur awal untuk melakukan penyidikan terhadap kasus pembebasan tanah untuk rumah DPRA,” papar dia.

Askhalani menuturkan, temuan lapangan pihaknya menunjukkan, proses pembebasan lahan dilaksanakan pada tanggal 28 maret 2014 untuk pengurusan akte jual beli. Sedangkan proses pencairan uang dilaksanakan pada akhir bulan Desember tahun 2015.

“Selain itu hal yang paling mencengangkan adalah di lokasi tanah sudah berdiri rumah untuk ditempati oleh DPRA, yang saat ini posisinya sudah 2/3 dari total bangunan yang dibangun. Ini semakin mengherankan karena pembebasan tanah belum dilakukan tapi rumah sudah dibangun dan ini menunjukan bahwa tanah ini sebelumnya sudah dibebaskan pada tahun 2007. Ini menjadi petunjuk juga bagi kejaksaan untuk melakukan pendalaman,” terang Askhalani.

Merujuk kepada segala fakta temuan investigasi tersebut, GeRAK Aceh mendesak Kejaksaan Tinggi Aceh untuk segera melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi pembebasan lahan untuk rumah DPRA. GeRAK percaya, Kejaksaan di bawah pimpinan Raja Nafrizal sudah cukup membaik dalam penanganan perkara korupsi di Aceh. Dan untuk kasus ini sangat tepat kejaksaan tinggi untuk segera melakukan penyidikannya, sebab potensi kerugian keuangan negara diduga sangat tinggi dari proses pembebasan tanah yang dilakukan oleh kesekretariatan DPRA tersebut.

Selain itu, GeRAK juga mendorong BPK-RI perwakilan Aceh untuk segera melakukan audit perhitungan terhadap mekanisme dan tatacara pembebasan tanah untuk rumah DPRA. Sebab, berdasarkan hasil kajian GeRAK Aceh menemukan bukti bahwa proses dan tatacara pembebasan tanah diduga tidak sesuai dengan NJOP yang berlaku. Dan atas praktek ini negara dirugikan cukup tinggi dan patut diduga adanya skenario terstruktur untuk mendapatkan keuntungan yang tidak wajar oleh pihak tertentu.

Terakhir, GeRAK Aceh mendesak komisi III DPRA untuk segera membentuk panitia khusu guna melakukan verivikasi terhadap tahapan pelaksanaan pembebasan tanah untuk pembangunan rumah DPRA.

“Panitia khusus ini harus segera melakukan pengusutan, karena diduga tanah ini sebelumnya sudah dibayar pada tahun 2007. Jika ini terbukti, maka potensi korupsi terencana sudah didesain sejak pengusulan kegiatan DIPA oleh pihak kesekretariatan DPRA,” Pungkas Askhalni.

Terkait tudingan GeRAK ini, AtjehLINK belum berhasil memintai klarifikasi dari pimpinan dan Sekretariat DPRA.

ATJEHLINK