BANDA ACEH – Penanganan kasus proyek pembangunan pengaman pantai Cunda-Meuraksa, Lhokseumawe dari pantauan Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh berjalan lamban. Padahal menurut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh dalam kasus tersebut telah merugikan keuangan negara lebih dari Rp 4,9 miliar.
Untuk itu GeRAK kembali mempertanyakan komitmen Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lhokseumawe untuk serius menangani perkara tersebut. Karena menurut GeRAK perkara ini sudah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti termasuk sudah ada hasil perhitungan audit dari BPKP Perwakilan Aceh.
“Jangan sampai ada tebang pilih dalam penanganan perkara,” ujar Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, Minggu (2/4/2021) di Banda Aceh.
Baca: GeRAK: Diduga Melibatkan Atasan, Kejati Aceh dan KPK Perlu Bentuk Satgassus
Menurut Askhal, jika penanganan kasus tersebut tebang pilih, maka akan memberikan dampak negatif terhadap kinerja instansi hukum. Kajari harus berani untuk mengungkapkan perkara tersebut secara terang benderang.
Selain itu menurut Askhal, pihaknya sangat konsen, fokus serta terus melakukan advokasi terhadap perkara tersebut. Sehingga jika tidak ada kejelasan, maka GeRAK Aceh akan melakukan pelaporan secara khusus kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) atas kinerja Kajari Lhokseumawe dalam menangani perkara tersebut.
Selain itu pihaknya juga akan menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mensupervisi kasus tersebut.
Sementara itu, Kajari Lhokseumawe, Muklis yang dihubungi AJNN mengaku bahwa sampai hingga hari ini, pihaknya belum menerima surat resmi dari BPKP soal kerugian negara tersebut. Bahkan untuk kerugian sendiri pihaknya tidak bisa mereka-reka.
“Kita tidak boleh berandai-andai, kita tunggu aja. Kalau memang ke depan ada kerugian negara kita akan sidik,” ujar Mukhlis Minggu (2/5/2021) melalui sambungan telepon di Lhokseumawe.
Menurutnya Muklis, hingga hari ini pihaknya belum belum mendapatkan surat resmi. Menurut Muklis, prosesnya juga tidak gampang. Karena mereka (BPKP) punya auditor-auditor yang handal, jadi tidak mungkin gegabah.
Baca: BPKP Simpulkan Terjadi Rekayasa Pengadaan, Pelanggaran Kontrak dan Dokumen Pembayaran
Sebelumnya pada Kamis (1/4/2021) Askhalani juga telah mengingatkan bahwa perkara ini sudah menjadi peristiwa hukum yaitu tindak pidana korupsi, walaupun uangnya sudah dikembalikan. Perkara ini tetap harus dibuka karena ada fakta-fakta yang cukup, atau dua alat bukti.
Menurut Askhalani, dua alat bukti itu pertama adalah adanya persekongkolan jahat yang menimbulkan dampak. Persekongkolan jahat itu adalah keterlibatan para pihak yang kemudian dengan sengaja mensetting, bahwa kegiatan itu seolah-olah selesai. Kedua dari segi hukum adanya tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
“Jadi dua alat bukti ini sudah memenuhi syarat legal formal, bagi Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhokseumawe untuk meningkatkan status terhadap perkara ini dari penyelidikan ke penyidikan,” ujarnya.
Selain itu menurut Askhal, hasil temuan audit BPKP Aceh, menunjukan ada sejumlah pelanggaran serius dan fakta- fakta hukum yang cukup, yang menggambarkan bahwa ada “Grand Skenario” diawal yang dilakukan oleh para pihak untuk, mencari keuntungan.
“Ini unik dimana modusnya diduga sudah direncanakan sejak awal dengan melakukan rekayasa tender, lalu pelanggaran kontrak dan dokumen pembayaran. Motifnya untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain yang dilakukan secara bersama – sama,” ujar Askhal.
Kasus ini kata Askhal juga sudah memenuhi syarat legal formal dan secara delik hukum pidana bahwa kegiatan yang dilakukan itu adalah bagian dari siklus koruptif yang direncanakan. Sistem koruptif yang direncanakan itu ada niat, ada kegiatan yang dilakukan, dan ada bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan serta ada bentuk pertanggungjawaban yang sudah dilakukan.
“Kalaupun sudah dikembalikan kerugian keuangan negara, Namun hal itu tidak menghapus pidana pokok yang sudah dilakukan sebelumnya oleh para pihak,” ujar Askhal.
“Apalagi kerugian keuangan negaranya diduga Rp 4,9 miliar. Jadi itu bukan sesuatu yang kecil,” ujar Askhal menambahkan.
Untuk itu GeRAK mengingatkan agar pihak Kejari Lhokseumawe tidak mengabaikan fakta-fakta tersebut. Kalau itu dilakukan berarti menunjukkan ada sesuatu yang melatarbelakangi, bahwa penyelidikan perkara ini memiliki orientasi kepentingan orang-orang tertentu.
“Maka Kejaksaan Tinggi (Kejati) bersama KPK membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) untuk melakukan supervisi terhadap perkara ini. Dan itu harus dilakukan,” kata Askhalani
Namun kalau hal tersebut tidak dilakukan, maka menurut Askhal ada kecenderungan penyelidikan kasus ini mengabaikan fakta-fakta hukum yang terjadi. Sehingga menimbulkan kesan di publik tidak ada tenang pilih.
Banyak perkara korupsi yang lain itu ditingkatkan proses hukumnya, walaupun, sudah kerugian keuangan negara sudah dikembalikan.
“Jadi jika pada kasus ini tidak dilakukan maka menunjukan ada sesuatu,” tanya Askal.
Lebih lanjut Askhal menjelaskan bahwa kalau melihat rentutan perkara pidana yang muncul dari sejak awalnya, termasuk hasil audit oleh BPKP. Kalau ini tidak mendapatkan tanggapan dari Kejati, maka (GeRAK) merasa perlu mengirimkan surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar melakukan supervisi terhadap perkara ini.
“Karena pemberitaan yang disampaikan oleh media, khususnya AJNN tampak sudah ada rentutan – rentutan perkara pidana dari sejak awal perkara ini ditemukan,” ujar Askhal.
Apalagi saat ini kata Askhal, pemerintah pusat melalui Menkopolhukam dan Kejaksaan Agung, sudah memerintahkan kepada semua Kejari dan Kejati untuk memfokuskan delik perkara pidana pada, perkara dana Otsus.
“Ini dana Otsus loh, jangan main-main. Jadi kalau tidak mendapatkan tanggapan akan kita mengirim surat kepada KPK untuk supervisi,” tambah Askhalani dengan nada tegas.
Terakhir koordinator GeRAK Aceh ini menyebutkan bahwa karena korupsi ini sudah direncanakan sejak awal, maka pihak yang terlibat tidak sebatas Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), tapi juga diduga melibatkan atasan dalam hal ini Wali Kota dan Kepala Unit Layanan Pelelangan (ULP).
“Jangan hanya rekanan dan konsultan serta PPK dan PPTK uang disasar, kasus ini unik dan sudah direncanakan sejak awal, patut diduga hal ini mulus karena ada intervensi pejabat tertinggi di Lhokseumawe,” pungkas Askalani.
Sebelumnya Kepala BPKP Perwakilan Aceh, Indra Khaira Jaya menyebutkan bahwa ada sejumlah modus yang dilakukan oleh pihak yang terlibat kasus proyek pembangunan pengaman pantai Cunda-Meuraksa, Lhokseumawe.
“Modusnya, rekayasa pengadaan, pelanggaran klausul kontrak dan dokumen pembayaran,” ungkap Indra kepada AJNN, Senin (29/3/2021) di Banda Aceh.
Tim BPKP Pusat, kata Indra sudah selesai melakukan Quality Assurance (QA) untuk kasus tersebut. Saat ini pihaknya hanya menunggu surat pengantar laporan dari BPKP pusat untuk segera menyampaikan laporannya ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhokseumawe.
Menurut Indra, QA dilakukan untuk memastikan proses dan hasil audit sudah sesuai standar audit dan kualitas bukti yang ada, serta atas analisis yang dilakukan tim BPKP Aceh, agar terhindar dari resiko kesalahan dalam menyimpulkan hasil audit.
“Itu sudah merupakan Standar Operasional Prosedur (SOP) kami. Nanti yang membuat laporan final tetap kami, surat pengantar laporannya dari Deputi Investigasi BPKP Pusat Jakarta,” ujar Indra. Tapi menurut Indra, proses tersebut tidak membutuhkan waktu yang begitu lama.
Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/gerak-pertanyakan-keseriusan-kajari-tangani-dugaan-proyek-fiktif-pengaman-pantai-cunda-meuraksa/index.html.