BANDA ACEH – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh bekerjasama dengan Jurnalisme Investigasi (JARING) dan Serambi Indonesia melaksnakan diskusi publik terkait tumpang tindih izin tambang di Aceh, Rabu (12/7) di Hotel The Pade Aceh Besar.
Ketua Panitia pelaksana, Mahmuddin mengatakan, tumpang tindih pemberian izin pertambangan dan hutan industri di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang mestinya merupakan kawasan lindung, bukan hal baru di Aceh. Seperti Hal nya yang terjadi di Kemukiman Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah Aceh Aceh Selatan.
“Menggamat adalah salah satu potret kasus yang membuktikan persoalan tambang di Aceh,” kata Mahuddin dalam sambutannya.
Disana, kata Mahmuddin, tiga perusahaan yang ditengarai atau dimiliki oleh orang yang sama mendapatkan izin usaha di kawasan tersebut. Ketiga perusahaan tersebut yakni PT Multi Mineral Utama, PT Islan Gencana Utama dan PT Beri Mineral Utama. Perusahaan tersebut mendapatkan izin operasi berbeda yang kemudian dijadikan pembenaran.
Mahmuddin menjelaskan, PT Multi Mineral Utama mendapatkan izin operasi dibidang penambangan emas, PT Islan Gencana Utama mendapatkan izin operasi dibidang kayu dan semen, sedangkan PT Beri Mineral Utama mendapatkan izin operasi pengelolaan bijih besi.
Eksploitasi sumber daya alam di areal dilindungi ini menunjukkan kacaunya managemen pemerintahan dalam melakukan tata kelola hutan dan lahan serta menunjukkan rendahnya komitmen negara dalam menjaga lingkungan sekaligus melindungi warganya dari dampak kerusakan lingkungan.
“Banjir yang dapat diakibatkan dari ekspoitasi sangat dirasakan oleh warga sekitar area tersebut,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Mahmuddin, desakan warga maupun kelompok masyarakat sipil agar mencabut izin perusahaan itu hingga kini belum ada upaya apapun dari pemerintah. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan sikap pemerintah inilah perlu ditelisik untuk mengurai tumpang tindih izin di sektor hutan dan tambang di Aceh.
“Kasus Manggamat hanyalah pintu masuk untuk membongkar dan menyelesaikan kasus carut-marut tata kelola hutan dan lahan lainnya yang terjadi di Aceh pasca reformasi,” terang Mahmuddin.
Diskusi ini ini diikuti oleh beberapa aktivis Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM), mahasiswa, jurnalis dan pemuda Aceh Selatan serta pemangku kepentingan lainnya.
|AJNN