Dana Rp 650 M tak Pernah Diaudit

Koordinator GeRAK Askhalani usai disumpah menjadi advokat. Foto: AJNN

BANDA ACEH – Dana yang mencapai Rp 650 miliar yang disebut-sebut untuk peningkatan kesejahteraan eks kombatan GAM yang dikucurkan Pemerintah Aceh pada 2013 tidak pernah diaudit oleh Inspektorat Aceh dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh. Akibatnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mengaku tidak memiliki bukti awal untuk mengungkap dugaan penyelewenangan sebagaimana dilaporkan Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh.

Kepala Kejati Aceh, Raja Nafrizal SH dalam konferensi pers didampingi para asisten, Jumat (21/7) mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Inspektorat dan BPK untuk mendalami kasus itu. “BPK ada periksa? Tidak. Inspektorat ada periksa? Tidak. Masak barang besar tidak ada yang lihat, proyek Rp 10 miliar diperiksa, masak Rp 650 miliar tidak ada yang lihat,” katanya.

Harusnya, kata Raja Nafrizal, dengan dana sebesar itu pihak auditor internal Pemerintah Aceh melakukan audit investigasi atas penggunaan dana itu. Sebab, pihaknya bekerja berdasarkan temuan auditor. “Ternyata anggaran ini tidak pernah sekalipun disentuh auditor baik auditor provinsi atau BPK, tidak pernah menghintung! Apa ada pelanggaran dari segi audit? Apa ada kerugian negara?” katanya.

Apabila Kejati menangani kasus tersebut, tambah Raja, maka penyidik harus memulai dari awal, sejak dari penyelidikan hingga menghitung kerugian negara. “Kita tetap jalan Pak, tapi yang agak susah itu tidak di-backup adanya hasil audit terhadap laporan itu. Inspektorat tidak pernah audit, BPK tidak pernah audit, ada apa?” ucap Raja mengenai kendala yang dihadapi.

Meskipun tidak memiliki bukti awal dari auditor, jelas Raja, namun pihaknya tetap mengusut kasus yang pernah dilaporkan GeRAK Aceh tersebut. Saat ini, kasus dugaan penyelewengan dana eks kombatan tersebut masih tahap penyelidikan bahkan penyidik sudah memeriksa beberapa saksi dari 11 dinas yang terkait kasus ini. “Itu bukan jadi alasan, kalau dilapor tetap jalan,” kata Kajati Aceh.

Raja menyatakan, idealnya program besar seperti itu harusnya ada tim supervisi atau monitoring. Tetapi, ia menilai program tersebut banyak terdapat kelemahannya. “Saya rasa kalau tidak dibantu pihak lain, jaksa bukan tidak mampu, tapi tidak cepat (menyelesaian kasus ini), harus ramai-ramai, auditor jalan, kita jalan. Laporannya tetap jalan,” terangnya.

Sebagaimana diberitakan, perkara dugaan penyelewengan dana Rp 650 miliar yang pernah digelontorkan untuk eks kombatan pada 2013 terkuak ketika debat calon gubernur/wakil gubernur Aceh tahap II pada pilkada lalu. Keberadaan dana ini disoal oleh cagub nomor urut 2, Zakaria Saman (Apa Karya) kepada cagub nomor 4, dr Zaini Abdullah sebagai calon petahana dalam sesi tanya jawab.

Masalah ini akhirnya menjadi perhatian banyak pihak, terutama dari kalangan LSM. GeRAK Aceh, misalnya, langsung melaporkan masalah tersebut ke Kajati Aceh dengan disertakan dokumen-dokumen pendukung. Menurut GeRAK, dana itu dikelola oleh 11 SKPA dengan membuat sejumlah rancangan program untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat eks kombatan GAM.

Dalam konferensi pers kemarin, para asisten Kejati Aceh juga memaparkan capaian kinerja dari Januari-Juni 2017. Mereka adalah Asisten Intelijen Rustam SH, Asisten Pidana Khusus Teuku Rahmatsyah SH MH, Asisten Pidana Umum Fadlul Azmi SH, Asisten Pembinaan Irwansyah SH MH, Asisten Pengawasan, Riza Fahdeli SH, dan Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara Asmadi SH MH.

Asisten Pidana Khusus, Teuku Rahmatsyah mengatakan selama Januari-Juni 2017, jumlah perkara korupsi yang ditangani pihaknya dalam tahap penyelidikan sebanyak 14 perkara, penyidikan sebanyak 9 perkara, dan penuntutan di pengadilan sebanyak 30 perkara. Selain itu, sebanyak 25 koruptor juga sudah dieksekusi di beberapa lembaga permasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan).

Sementara jumlah kerugian negara yang berhasil diselamatkan hingga 10 Juli 2017 mencapai Rp 5,3 miliar lebih. Jumlah ini, kata Rahmatsyah, lebih tinggi dari tahun 2015 sebesar Rp 3,8 miliar lebih dan tahun 2016 sebesar Rp 4,4 miliar lebih. (mas)

Sumber : Serambi Indonesia