Askhalani Bin Muhammad Amin, Anak Keuchik di Belantara Korupsi

Askhalani Bin Muhammad Amin, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh.

Di rimba konflik, Askhal sempat menjajal latihan militer GAM. Di rimba korupsi, ia kerap “bertempur” berhadap-hadapan dengan para politikus bekas GAM.

PUKUL 13.46 WIB. Askhalani Bin Muhammad Amin, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh melenggang meninggalkan ruang rapat di Gedung Antikorupsi di Desa Lamcot, Aceh Besar. Tangan kanannya memegang piring berisi nasi bungkus. Di tangan kiri, suara moderator rapat zoom dari telepon cerdas menyampaikan kata-kata penutup pertemuan virtual itu.

“Untung sudah selesai, lapar kali aku,” kata Askhalani buru-buru meletakkan telepon genggam dan melepaskan karet pembungkus nasi yang sudah dingin, kemarin.

Askhalani mengaku tak terlalu suka rapat secara virtual ini. Namun apa hendak dikata, di tengah pandemi Covid-19, pertemuan-pertemuan di ruang virtual menjadi penghubung antara lembaganya, Gerak Aceh, dengan lembaga donor untuk membahas program kegiatan.

Tahun ini, terdapat beberapa program yang akan dijalankan Gerak Aceh. Terutama terkait isu anggaran berbasis lingkungan. Kerja sama ini membuat napas organisasi nirlaba itu menjadi lebih panjang setelah tahun sebelumnya tak ada satupun kerja sama yang mereka jalin dengan lembaga donor.

Tak ada kerja sama berarti tak ada pendapatan. Bekerja sebagai pegiat antikorupsi, Askhalani harus pandai-pandai berhemat. Karena itu dia berupaya menyisihkan uang dari program ke dalam kas organisasi.

Jadi, meski tahun lalu tak ada kerja sama dengan lembaga donor, Gerak Aceh masih memiliki uang simpanan yang digunakan untuk menggaji para pengurusnya. “Tidak banyak, tapi ada.”

Bekerja sebagai aktivis antikorupsi jelas bukan pilihan banyak orang. Askhalani memahami benar hal ini sebelum memutuskan untuk terlibat langsung dengan lembaga ini. Namun dia menikmati pekerjaan meski penghasilannya pas-pasan.

Askahalani menghabiskan masa kecil di Alue Sungai Pinang, Kecamatan Jeumpa, Aceh Barat Daya. Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya, Muhammad Amin Bin Hamid, adalah seorang pedagang yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdagang dari Blangpidie ke Gayo Lues dengan berjalan kaki selama bermalam-malam.

“Dari Gayo Lues, biasanya ayah pulang membawa tembakau atau emas,” kata Askhalani. “Sejak muda, ayah sudah mapan dan menjadi tokoh di kampung. Dia juga menjadi keuchik di sana.”

Sejak kecil Askhalani diajarkan oleh sang ayah untuk mendahulukan kepentingan orang banyak ketimbang diri sendiri. Nilai dan prinsip itu masih dijalankan oleh Askhalani hingga saat ini.

Di ujung masa pendidikan sekolah menengah atas, Askhalani bersentuhan langsung dengan Gerakan Aceh Merdeka di kampungnya. Dia masuk ke dalam gerakan itu setelah ayahnya diculik kombatan di daerah itu. Untuk membebaskan, Askhalani dan abang kandungnya harus bergabung dengan GAM sebagai barter.

Askhalani menjalani sejumlah latihan militer seperti belajar beladiri, pembentukan fisik dan menembak senjata. Semua diajarkan oleh seorang mualem, bekas anak murid Tengku Bantaqiah, selama enam bulan. Dia bergabung dengan remaja pria lain di sagoe itu hingga sehari menjelang ujian akhir sekolah (Ebtanas).

Hingga akhirnya Askhalani ditawarkan untuk melanjutkan pendidikan atau ingin bertahan bersama GAM. Askhalani memutuskan untuk melanjutkan pendidikan. Pada 2000, dia diterima di Universitas Islam Negeri Arraniry, saat itu masih berstatus institut.

Di Banda Aceh, Askhalani bergabung dengan Farmidia. Ini adalah akronim dari Front Aksi Reformasi Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Aceh. Dia bergabung bersama Nasruddin, bekas Wakil Bupati Aceh Timur, Radhi Darmansyah, Tengku Ruslan, Taufik Abda, Taufik Abdullah, dan sejumlah aktivis kemanusiaan Aceh lain.

Kegiatan yang paling sering dilakukan Askhalani di front itu adalah mengantar bantuan untuk pengungsi. Peran Askhalani di GAM juga berubah dari tentara menjadi penghubung. Dia dan Misdarul Ihsan, rekan sekampung yang memilih menjadi wartawan, menjadi penghubung GAM di Aceh Barat Daya dengan Banda Aceh. Mereka ditugasi untuk membeli kartu telepon satelit atau memperbaiki radio telekomunikasi yang rusak.

Askalani juga bergabung dengan Himpunan Aktivis Antimiliter (Hantam). Dalam organisasi ini, Askhalani bergabung Muhammad Falevi Kirani, Muhammad MTA, Taufik Mubarak dan banyak lagi. Semua itu bermuara kepada keinginan untuk memerdekakan Aceh. Pada 2003, Askhalani dan aktivis Hantam lainnya ditangkap di Simpang Lima, Banda Aceh, karena mengibarkan Bendera Bulan Bintang.

Sampai akhirnya tsunami menghantam Aceh. Insiden ini menjadi pintu perpisahan Askhalani dengan sang ayah yang ikut terseret gelombang besar itu. Saat itu, sang ayah tengah berada di Banda Aceh. Hingga saat ini, jasadnya tidak diketahui. Konstelasi ketegangan politik di Aceh menurun. Tak lama Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia mencapai kata sepakat dan menandatangani sebuah perdamaian yang menjadi penanda era baru di Aceh.

Syahdan, pada 2005, muncul tawaran dari seorang senior untuk bergabung dengan Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh. Askhalani ditawarkan menjadi relawan yang memantau penggunaan dana-dana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang dikelola oleh negara ataupun lembaga donor asing.

Askhalani tak menolak tawaran itu. Apalagi, sebelum menerima tawaran itu, Askhalani membaca keberhasilan aktivis antikorupsi memenjarakan Abdullah Puteh, Gubernur Aceh, atas kasus korupsi pembelian helikopter.

Di Gerak Aceh, Askhalani bertemu dengan Akhiruddin Mahjuddin, koordinator lembaga itu. Dari Akhiruddin pula Askhalani belajar banyak tentang gerakan antikorupsi. Belajar cara berbicara kepada publik dan banyak hal lain.

Salah satu filosofi yang diajarkan Akhiruddin kepada Askhalani, dan ini ditularkan Askhalani kepada rekan-rekan yang lain, adalah jangan berbicara tentang korupsi tanpa data yang valid. Dan saat kebenaran itu harus disampaikan, maka jangan takut untuk menyampaikan kebenaran meski data dan pernyataan yang disampaikan itu akan diuji pula oleh orang lain. “Ketakutan kita tidak boleh lebih besar dari apa yang ingin kita sampaikan.”

Bergabung bersama Gerak Aceh menjadikan Askhalani sebagai sosok yang kritis. Dia adalah salah satu sosok yang kerap mengkritik sejumlah kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang tidak tepat sasaran.

Salah satunya adalah mengkritik rencana pembangunan Museum Tsunami yang dianggap Askhalani tidak lebih penting ketimbang membangun rumah para penyintas tsunami. Askhalani juga menentang upaya sejumlah donor yang memberikan uang kepada masyarakat yang membersihkan kembali gampong mereka dari puing-puing dan sampah tsunami. Karena hal ini dinilai Askhalani merusak nilai-nilai gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh.

Askhalani juga tidak ngotot untuk mendapatkan bantuan dari para pihak meski dia adalah salah satu penyintas yang kehilangan ayah. Namun saat membandingkan duka itu dengan duka ribuan masyarakat Aceh, Askhalani merasa belum cukup pantas untuk menerima bantuan karena banyak warga Aceh lebih membutuhkan.

Seiring perjalanan waktu, peran Askhalani di Gerak Aceh semakin vital. Bahkan saat terjadi pergeseran kepemimpinan di lembaga itu, pada 2010, dia ditunjuk untuk menjadi pejabat sementara koordinator Gerak Aceh menggantikan Akhiruddin yang menempuh pendidikan S2 di Jakarta.

Askhalani saat itu merasa lebih banyak sosok lain di Gerak Aceh yang lebih pantas menjabat sebagai koordinator. Namun saat dia tak bisa lagi menolak, Askhalani menyanggupi tanggung jawab itu hingga akhirnya dia secara resmi ditunjuk oleh dewan pendiri menjadi koordinator.

Pada 1 Mei 2010, Askhalani menikahi Nia Kurnia Shalihat. Dari pernikahan ini, Askhalani dan Nia dikaruniai Sulhtan Laksamana Alfarisi. Tahun ini pula, di bulan Desember, Askhalani menginisiasi pendirian Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA). Askhalani mengatakan SAKA dibentuk sebagai upaya regenerasi kader antikorupsi dan memperluas partisipasi anak muda di Aceh dan menjadikan siar kampanye antikorupsi lebih luas.

Setahun kemudian, RCTI memasukkan nama Askhalani sebagai nominator penerima penghargaan atas upayanya membentuk sekolah antikorupsi itu. Sayang, di ajang ini, dia kalah dari Anies Baswedan yang dinominasikan pula atas upayanya mengembangkan pendidikan dengan membentuk Gerakan Indonesia Mengajar.

Sebagai aktivis antikorupsi, Askhalani menjalani hidup yang jauh kemewahan. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan saat menentang rencana pembelian kendaraan roda empat sebagai aset Gerak Aceh. Dia menilai pembelian kendaraan hanya membebani keuangan lembaga dan hanya dinikmati oleh koordinator.

Di sisi lain, kendaraan dinas ini hanya memantik perpecahan. Karena, diakui atau tidak, akan timbul perasaan iri di antara sesama rekan kerja. Saat lembaga membutuhkan kendaraan untuk kegiatan di luar daerah, Askhalani mengatakan mereka cukup menyewa kendaraan dengan anggaran yang disesuaikan dalam program.

Gaya hidup sederhana inilah yang diterapkan Askhalani dalam keluarga. Bahkan untuk menghindari pertemuan-pertemuan dengan banyak pihak yang berseberangan kepentingan, Askhalani memilih menghabiskan waktu bersama rekan-rekan di Gerak Aceh di warung-warung kopi kecil. Askhalani menerapkan batasan tentang kewajaran hidup selaku aktivis antikorupsi.

Pada 2016, Askhalani menjadi pengacara untuk mencari penghasilan tambahan. Namun dia membatasi diri untuk tidak menerima klien yang terjerat kasus dugaan korupsi. Dia lebih memilih bayaran kecil untuk kasus kecil ketimbang uang besar dengan membela koruptor.

Uang yang dikumpulkan Askhalani dari beracara digunakan untuk membeli lahan. Saban akhir pekan, Askhalani pergi ke kebun untuk menanam alpokat, jengkol dan pinang. Dia berharap uang dari berkebun ini dapat menjadi penghasilan tambahan sehingga dia tidak terlalu bergantung dengan pendapatan dari lembaga dan profesi. “Mungkin dalam satu atau dua tahun lagi, pohon-pohon di kebun itu mulai menghasilkan,” kata Askhalani.

Satu hal yang tak akan disesali Askhalani adalah keputusan untuk menempuh jalan hidup sebagai pegiat antikorupsi. Keluarga juga mendukung langkah ini. Askhalani percaya bahwa perjuangan melawan korupsi bukan perjuangan untuk kepentingan diri sendiri. Di dalamnya terdapat doa masyarakat yang hak-hak mereka dicuri oleh maling negara.

“Kekecewaan terbesar saya adalah saat kami hanya dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan atas kasus-kasus dugaan korupsi yang dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Karena itu, kami lebih memilih melaporkan kasus-kasus itu kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Meski saat ini, setelah konflik mengenai pengawai KPK, kami masih menahan diri untuk melaporkan kasus dugaan korupsi,” kata Askhalani. Tatap matanya tetap memancarkan optimisme.

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/askhalani-bin-muhammad-amin-anak-keuchik-di-belantara-korupsi/index.html?page=all.