BANDA ACEH – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh meminta Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Dermawan untuk bertanggungjawab atas keterlambatan pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh Perubahan (APBA-P) 2016. Pasalnya hingga kini Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) belum menerima usulan dari Pemerintah Aceh.
Koordinator GeRAK Aceh Askhalani mengatakan sekda yang merupakan Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) lalai menjalankan tugasnya, dan tidak mampu memerankan fungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Aceh.
“Hingga kini masih tidak ada kejelasan APBA-P 2016, maka pihak yang harus disalahkan adalah Sekda Aceh karena sudah tidak mampu memerankan fungsinya,” kata Askhalani kepada AJNN, Senin (10/10).
Alasan dirinya mengungkapkan itu, kata Askhal, karena gubernur dan wakil gubernur Aceh hanyalah bagian dari pelaksana pemerintah yang tidak semua dilakukan oleh mereka. Maka fungsi sekda selaku koordinasi leadhership untuk pemerintahan, dan juga sebagai motor utama penggerak percepatan perencanaan penganggaran.
“Kalau APBA-P 2016 tidak bisa dilaksanakan, yang salah itu bukan gubernur atau wakil gubernur, tapi kinerja sekda yang tidak mampu membangun fungsinya,” tegasnya.
Askhalani berpendapat, sekda seharusnya tidak menunggu sampai adanya kebijakan tertulis atau perintah langsung dari gubernur. Namun harus ada itikad baik dari sekda yang kemudian dilaporkan kepada Gubernur Aceh. Karena sebagai orang ketiga di tubuh Pemerintah Aceh harus memiliki visualisasi untuk bekerja dengan menggunakan pendekatan undang-undang, taat azaz dan bekerja dengan keterbukaan.
“Hal tersebut dapat membuat tata kelola pemerintah semakin bagus. Sekda tidak boleh mengambil posisi bergening sebagai orang yang kaku, menikmati hasil, dan hanya menungggu pemerintah, jika itu dilakukan oleh sekda, maka sudah salah dalam persepsi pemerintahan,” jelasnya.
Pengacara muda ini juga mengungkapkan apabila ingin melihat Pemerintah Aceh yang visioner itu motornya di sekda, maka jika gagal dalam mendorong implementasi perencanaan penganggaran APBA-P, dan perubahan SOTK yang lambat prosesnya, itu murni kesalahannya ada pada sekda.
Secara tata kelola pemerintahan, kata putra asli Aceh Barat Daya itu, yang paling banyak berfungsi untuk bekerja maupun mempercepat realisasi APBA-P, perencanaan yang baik, menindaklanjuti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mendorong keterbukaan informasi publik, itu semua merupakan tugas sekda, bukan gubernur.
“Pemerintah Aceh lebih baik bukan hanya ada di tangan gubernur dan wakil gubernur, tapi motornya sekda bekerja, dan ini tanggungjawab sekda Aceh,” ujarnya.
Dirinya melihat, dalam beberapa pertemuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sekda sangat jarang hadir untuk mewakili Pemerintah Aceh ketika gubernur dan wakil gubernur berhalangan hadir. Namun yang lucurnya sekda malah meminta diwakili para asisten. Artinya, sekda ingin menciptakan posisi yang nyaman, tidak mau berbenturan dengan kepentingan dalam mempercepat pengesahan anggaran.
“Contoh seperti saat kegiatan laporan pertanggungjawaban terkait implementasi APBA, diwaktu bersamaan gubernur sakit dan wakil gubernur sedang berada di luar daerah, seharusnya posisi itu digantikan sekda, bukan para asisten. Karena gubernur hanya pejabat publik yang secara mandat memiliki kekuatan, tapi motor penggerak pemerintahan itu di sekda,” tegasnya.
Untuk itu, GeRAK Aceh mendesak Gubernur Aceh untuk mengevaluasi kerja-kerja sekda, apabila perlu Zaini Abdullah mengambil sikap untuk menggantikan sekda dengan orang yang lebih paham dan bekerja keras dalam menjalankan fungsinya.
“Pemerintah Aceh butuh sekda yang memiliki visioner dalam bekerja bukan hanya mengambil posisi yang nyaman. Kalau APBA-P tahun ini gagal dilakukan, kemudian merusak daftar kegagalan pemerintah dalam mempercepat perencanaan, tidak perlu malu, gubernur bisa saja mengganti posisi sekda dengan orang yang lebih bagus,” ungkap Askhalani.